Home » Bahasa dan Pendidikan Karakter Anak

Bahasa dan Pendidikan Karakter Anak

by pusdatin ssbbireuen

Oleh Ika Meutia, S.Si.*

Pembentukan karakter siswa merupakan bagian dari proses pembentukan akhlak anak. Pembentukan karakter tentu saja tidak dimulai saat anak-anak memasuki jenjang pendidikan formal mulai tingkat sekolah dasar sampai dengan level pendidikan tinggi saja. Seyogianya, pendidikan karakter dibina sebelum anak mengenal dunia luar dan lingkungan sekitar, artinya ditanamkan sejak dalam keluarga di rumah. Keluarga memiliki andil yang sangat besar terhadap pembentukan karakter anak. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan agama, budi pekerti, dan tata krama juga teladan yang diberikan orangtua di rumah. Hal tersebut akan menjadi fondasi utama karakter anak sekaligus akan menjadi bekal belajar anak di masa depan. Karena itu, untuk menyampaikan pesan-pesan moril tersebut kepada buah hati tentu membutuhkan media. Dan salah satu media untuk mewacanakan semua petuah-petuah karakter tersebut adalah bahasa.

Bahasa digunakan oleh manusia sebagai sarana komunikasi antara satu dengan yang lain. Penggunaan bahasa yang cenderung kasar dan keras ditengarai akan berdampak negatif terhadap pembentukan karakter anak. Begitu pun sebaliknya, penggunaan bahasa yang lembut dan sopan dipandang akan menjadi modal yang sangat baik untuk modal belajar masa depan anak. Oleh karena itu, kerap kali kita diingatkan untuk berhati-hati dalam berkomunikasi dengan bahasa karena setiap kali berbicara maka kita sedang mengampanyekan hal yang produktif dan konstruktif atau malah hal yang destruktif untuk pengembangan karakter anak.

Alangkah baiknya jika bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi di rumah adalah bahasa santun. Seterusnya bahasa tersebut juga halus sehingga tidak membuat anak terkejut, tersinggung, atau terluka harga dirinya. Selain itu, pola komunikasi yang dibangun sebaiknya dua arah; dari orang tua dan dari anak. Jika komunikasi satu arah semata dengan orang tua dominan, maka lazimnya karakter anak yang terbangun cenderung pasif dan rasa percaya diri yang mengkhawatirkan. Demikian juga jika hanya dari anak semata, maka ia nantinya akan cenderung jemawa karena orangtua selalu menuruti apa kata si anak.

Di sinilah seni mendidik para orang tua dibutuhkan untuk menuntun anaknya dengan metode tarik ulur. Ibarat bermain layang-layang, jika anginnya kencang maka kita ulur dan apabila anginnya sepoi maka kita tarik. Karena itu, para orang tua didorong untuk terus belajar dan memberikan masukan praktik baik dari seluruh komponen masyarakat. Meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan berkomunikasi lancar nan baik pada diri seorang anak tidak muncul begitu saja. Karakter anak ibarat selembar kertas putih yang akan mewarnai dan memengaruhinya kemudian hari adalah lingkungannya; keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Sering kita jumpai penggunaan bahasa yang tidak enak didengar, tetapi ringan dan fasih sekali dilafazkan di kalangan anak-anak. Penggunaan bahasa yang kurang sopan serta ditambah ketidakmampuan mengontrol emosi secara baik adalah fenomena yang membuat kita miris dan mengelus dada berulang kali. Fenomena-fenomena seperti itu acap kali kita temui di lingkungan kita pada berbagai latar usia anak. Jika kita mencoba menelusuri fenomena ini berdasarkan latar belakang sang anak, maka akan terlihat fakta bahwa perilaku tersebut ternyata dimulai dan “dilatih” di rumah. Karena sudah menjadi semacam kebiasaan, tentu perilaku tersebut dipraktikkan anak di luar rumah juga. Bahkan, yang lebih disayangkan adalah ketika anak-anak menganggap bahwa perilaku tercela tersebut merupakan sebuah kewajaran.

Lingkungan keluarga

Keluarga dikatakan sebagai lembaga utama dan ibu merupakan madrasatul-ula anak-anaknya. Peran keluarga sangat memengaruhi perkembangan pola komunikasi anak, khususnya bahasa. Sebagaimana yang kita pahami bahwa keterampilan berbahasa yang pertama kali diterima setiap anak adalah menyimak. Sejak lahir, anak belajar menyimak referensi dan diksi kosa kata dari kedua orang tuanya. Penggunaan bahasa komunikasi dalam keluarga inilah nantinya akan berdampak pada keterampilan berbicara anak dan menjadi fondasi awal pembentukan karakternya.

Membentuk karakter dimulai ketika orang tua memberikan stimulus dan anak akan merespons stimulus tersebut. Jika seorang anak berbicara, kemudian mendapatkan respons positif dari keluarga, maka hal itu akan direspons kembali oleh anak dengan sikap positif pula. Hasilnya, kemampuan berbicara anak akan semakin baik. Mengajukan pertanyaan sederhana kepada si anak semisal, apa kabarmu, bagaimana di sekolah, apa kamu senang, dll; merupakan pertanyaan yang membuat anak merasa bahwa orang tua tertarik dan mengapresiasi dirinya. Hal ini senada dengan ungkapan Direktur Operasional Klinis di San Diego Center for Children, Dr. Cheryl Rode. Ia mengatakan bahwa pujian, dorongan, semangat dan kata-kata yang baik merupakan bagian penting dari komunikasi sehari-hari orangtua dengan anak-anak di segala usia. Anak-anak mengembangkan diri mereka melalui komunikasi dengan orang lain, terutama orang tua.

Sikap dan perilaku orang tua di rumah dapat membentuk karakter anak-anaknya. Dalam keseharian, anak bersosialisasi dengan seluruh anggota keluarga dan ketika itu anak melibatkan pancaindera yang ia miliki. Apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan akan selalu terekam di dalam memori otaknya, perilaku baik atau buruk sekali pun. Kebiasaan berbahasa baik atau buruk di dalam keluarga ini akan membentuk karakter mereka sehari-hari. Seterusnya, kebiasaan tersebut akan mereka kembangkan lagi dan dibawa ke lingkungan sekolah.

Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan rumah kedua bagi siswa. Sebagian besar waktu yang dimiliki oleh siswa dihabiskan di sekolah bersama teman serta gurunya. Di sekolah, siswa dilatih untuk belajar mandiri, berinteraksi, dan bersosialisasi. Salah satu unsur penting dalam lingkungan sekolah adalah guru. Karena itu baik buruknya seorang guru akan berkontribusi terhadap baik buruknya tumbuh kembang siswa. Hakikat utama peran seorang guru adalah menjadi orang yang dapat diteladani oleh siswanya, digugu dan ditiru. Karena itu, selain tugas teknis sebagai seorang pengajar, guru juga mempunyai tugas etis sebagai teladan untuk membentuk karakter siswa menjadi lebih baik. Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh guru adalah menyiapkan mindset positif untuk berkembang dan belajar bersama siswa sebelum berangkat ke sekolah. Kata belajar di sini memiliki arti bahwa guru tidak menganggap dirinya sebagai satu-satunya sumber informasi di kelas. Ia juga diharapkan mencontohkan cara belajar dengan ikut serta dan bersedia belajar dari proses pembelajaran di kelas.

Memberikan kata-kata motivasi secara konsisten, juga dapat dilakukan secara rutin oleh guru di ruang kelas terutama di awal waktu belajar atau ketika akan menutup proses pembelajaran. Guru bisa mengucapkan kalimat seperti, “Kamu bisa melakukannya”. Kalimat itu bisa ditandai sebagai penegasan dan penyemangat agar sang anak mampu melakukan hal yang ingin dilakukannya. Bila kata-kata positif itu diulang sesering mungkin, maka besar harapan anak menjadi termotivasi untuk bisa melakukan hal-hal tersebut. Selain itu, merancang metode tugas berkelompok di kelas juga menjadi alternatif untuk melatih kemampuan dasar anak seperti mendengar dan berbicara. Anak akan belajar berbicara dan melihat sudut pandang berbeda pada teman-temannya tentang gaya berbahasa sehingga tercipta komunikasi yang efektif. Untuk mendapatkan hasil serupa, anak akan termotivasi untuk meniru dan belajar gaya komunikasi temannya yang ia yakini efektif untuk mendapatkan hasil yang ia inginkan.

Lingkungan Masyarakat

Masyarakat pun memiliki peran yang tidak kalah penting dalam upaya pembentukan karakter anak. Masyarakat diharapkan dapat memberikan contoh melalui bahasa dan tindakan yang baik kepada anak dalam melakukan suatu perbuatan. Lingkungan masyarakat lainnya yang memengaruhi pembentukan karakter anak adalah komunitas tempat anak mengasah bakat dan minatnya. Di sini sangat dibutuhkan peran orang tua untuk menyeleksi komunitas yang akan dipilih anak. Komunitas-komunitas tersebut diharapkan menerapkan dan mempromosikan pola komunikasi dan pola asuh yang semirip mungkin dengan pola-pola yang dikembangkan di rumah.

Akhirnya, pembentukan karakter dasar pada anak dimulai dari lingkungan rumah, selanjutnya baru ia mengasah dan mengembangkannya di lingkungan pendidikan formal (sekolah) dan informal (masyarakat). Karena itu, jika seorang anak semenjak kecil sudah terbiasa, terlatih dan terpola dengan bahasa yang positif maka besar harapan kita bahwa fondasi karakternya adalah positif dan begitu pula sebaliknya. Salah satu indikasi baiknya karakter anak adalah perilaku berbahasanya. Ibarat ungkapan, bahasa menunjukkan bangsa. Hal ini ditegaskan pula oleh Effendi (2009) yang mengatakan bahwa cara berpikir seseorang tercermin dari bahasa yang digunakannya. Jika cara berpikir seseorang itu teratur, bahasa yang digunakannya pun teratur pula. Wallahu a’lam.[]

Penulis adalah guru SD Sukma Bangsa Bireuen

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 29/11/2021

You may also like

Leave a Comment