Home » Guru Sebagai Pembentuk Harga Diri Siswa

Guru Sebagai Pembentuk Harga Diri Siswa

by pusdatin ssbbireuen

Oleh: Meidiana, S.PSi*

Guru dapat mendorong siswa untuk mengidentifikasi hal-hal yang dapat mereka lakukan dengan baik atau yang mereka senangi, lalu ajak siswa untuk secara bergiliran menyebutkan hal-hal yang disukai dari teman-temannya.

Pada tahun 2020 silam, sempat beredar video yang menampilkan seorang guru memukuli lima orang siswanya secara bertubi-tubi. Usut punya usut, kejadian tersebut terjadi di salah satu SMA di Bekasi dan dilakukan oleh wakil kepala sekolah.

Menurut keterangan para siswa yang diwawancarai, guru tersebut memang terkenal killer dan temperamen di kalangan siswa, seperti sering marah-marah, melempar barang ke arah siswa, bahkan seringkali menegur dengan menggunakan kekerasan jika ada yang melakukan kesalahan.

Masih di tahun yang sama, seorang siswa perempuan di Kepulauan Riau memutuskan untuk berhenti sekolah lantaran merasa malu karena terus-menerus diejek oleh teman-temannya. Hal ini bermula sejak ia diteriaki “perempuan nakal” oleh gurunya sendiri di tempat umum sehingga terdengar oleh orang-orang yang berada di sekitar sana, termasuk teman-teman sekolahnya.

Melihat reaksi siswa yang takut dan menunduk setelah dimarahi barangkali membuat guru merasa puas atau dihormati. Memukul dan mencubit dianggap menjadi cara terampuh untuk menghukum siswa. Mengomentari penampilan fisik atau status ekonomi siswa dijadikan bahan candaan.

Sayangnya, masih banyak orang yang menerima hal tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari tindakan mendidik atau mendisiplinkan siswa. Bukti dari kekerasan fisik mungkin akan sembuh setelah diobati dan hilang dalam beberapa bulan, namun kekerasan verbal atau psikologis akan meninggalkan jejak selamanya.

Menurut Erikson (1950), masa-masa awal kehidupan merupakan fase kritis dalam perkembangan psikososial anak karena ini adalah masa dimana mereka mengembangkan rasa percaya atau curiga (trust or mistrust) terhadap lingkungannya. Artinya, anak mengembangkan kepercayaan berdasarkan kualitas pengasuhan sehingga peran orang-orang dewasa di sekitarnya menjadi sangat krusial pada masa ini.

Apabila orangtua berhasil memberikan makanan, kasih sayang, kehangatan, rasa aman, dan sebagainya, maka akan terbentuk karakter individu yang percaya (trust) kepada orang lain. Sebaliknya, jika anak tidak mendapatkan pengasuhan yang konsisten, tidak dekat secara emosional, atau merasa terabaikan, maka ia akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai anak yang pencemas, kurang mampu menjalin hubungan sosial, dan tidak percaya pada dunia.

Kepribadian anak merupakan hasil refleksi dari pola asuh orangtua yang pada akhirnya mempengaruhi penilaiannya terhadap diri sendiri atau disebut dengan harga diri. Harga diri (self-esteem) adalah hasil evaluasi individu terhadap dirinya sendiri (Buss, 1973). Evaluasi tersebut dapat berupa penilaian positif maupun negatif. Seperti baik atau buruk. Pintar atau bodoh. Kuat atau lemah, dan lain sebagainya.

Anak yang dihujani kasih sayang dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan hubungan positif yang didasarkan pada rasa percaya, sehingga ia akan memandang dirinya berharga. Sebaliknya, anak yang kebutuhannya tidak terpenuhi atau tangki emosionalnya tidak pernah diisi maka akan berkesimpulan bahwa dirinya tidak berharga dan tidak dibutuhkan.

Harga diri individu sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi, perilaku dan penyesuaian dirinya di lingkungan sosial, terutama di sekolah. Anak akan memproyeksikan pengetahuan dan pengalaman yang didapat dari orangtua kepada orang lain, misalnya guru dan teman sebaya. Ia akan berpendapat bahwa guru dan teman adalah orang yang dapat dipercaya atau justru membuatnya merasa tidak nyaman.

Anak yang berpandangan positif tentang dirinya akan lebih siap untuk mengatasi kesalahan, kekecewaan, dan kegagalan, serta lebih mungkin untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menantang. Ketika seorang anak merasa mampu dan yakin pada dirinya sendiri, mereka lebih mudah termotivasi dan lebih mungkin untuk mencapai potensinya.

Harga diri positif tidak hanya meningkatkan kinerja akademis, tetapi juga memperkuat keterampilan sosial. Di sisi lain, anak-anak yang berpandangan negatif atau memandang rendah dirinya sendiri akan menemui rintangan dalam mengatasi masalah, pasif, menarik diri, mudah frustrasi dan tidak bahagia. Ketika dihadapkan pada suatu tantangan, mereka dapat dengan mudah berkata ”tidak bisa”.

Penilaian dari orang lain berpengaruh secara signifikan terhadap tumbuhnya perasaan menghargai diri sendiri pada individu. Oleh karena itu, umpan balik yang diterima anak memainkan peran utama dalam mengembangkan harga dirinya, terutama bila umpan balik tersebut datang dari orang-orang terdekatnya seperti teman, guru, dan orang tua.

Umpan balik yang tidak produktif dan terlalu kritis bisa sangat menyakitkan dan menyebabkan harga diri anak rendah. Sedangkan umpan balik yang positif dan produktif dapat berdampak sebaliknya. Jadi, harga diri adalah kebutuhan seumur hidup yang dapat dengan mudah ditingkatkan namun dapat dengan mudah pula dihancurkan oleh orang-orang di sekitarnya.

Sedemikian pentingnya pengembangan harga diri bagi setiap individu, maka perlu adanya kerjasama yang sinergis antara guru dengan orang tua. Khususnya di sekolah, guru memiliki peran mendasar dalam membentuk harga diri anak yang dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran sehari-hari.

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengembangkan harga diri siswa ke arah positif. Pertama, guru dapat menunjukkan proses pencapaian prestasi siswa secara spesifik, misalnya dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti diagram, kartu kompetensi, grafik, dan sebagainya.

Adanya bukti yang konkrit akan memberikan gambaran mengenai perkembangan siswa dari waktu ke waktu. Guru juga dapat mengembalikan hasil tugas siswa setelah diberikan umpan balik, hal ini dapat membantu mereka untuk mengetahui kemampuannya sendiri.

Kedua, memberikan kritik yang konstruktif dan bersifat membangun. Hal ini secara tidak langsung dapat menanamkan pola pikir berkembang atau keyakinan bahwa semua individu dapat tumbuh dan meningkat dengan adanya usaha.

Guru juga dapat memberikan tanggapan berupa pujian kepada siswa jika mereka berhasil melakukan sesuatu atau memberikan semangat ketika mereka gagal. Namun demikian, berhati-hatilah agar tidak memberikan pujian secara berlebihan karena hal ini dapat menyebabkan siswa salah dalam menilai kemampuan dirinya sendiri.

Selain itu, hindari memberikan kritik yang menjatuhkan atau membuat siswa merasa dipermalukan. Mengkritik di depan umum dapat menyebabkan harga diri siswa menurun dan merasa dirinya tidak berharga bahkan hingga muncul perasaan takut untuk mencoba kembali.

Ketiga, membangun struktur diri siswa melalui pendekatan yang positif, yaitu dengan pemberian tanggung jawab dan penumbuhan nilai kedisiplinan.

Contoh paling mendasar, guru dapat mendorong siswa untuk berani memegang peran penting di dalam kelas, seperti menjadi ketua kelas, bendahara, sekretaris, atau terlibat dalam kepengurusan OSIS di sekolah.

Selain itu, guru juga dapat memberikan tugas dalam kelompok-kelompok kecil dan memastikan bahwa setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawabnya masing-masing.

Keempat, fokus pada hal-hal positif. Guru dapat mendorong siswa untuk mengidentifikasi hal-hal yang dapat mereka lakukan dengan baik atau yang mereka senangi, lalu ajak siswa untuk secara bergiliran menyebutkan hal-hal yang disukai dari teman-temannya.

Selanjutnya, arahkan siswa untuk menulis kelemahan diri sendiri dan penyebabnya, serta sumber daya apa saja yang dapat digunakan untuk mengubah kelemahan-kelemahan tersebut menjadi suatu kelebihan. Dalam hal ini, guru dapat memberikan contoh perjuangan tokoh-tokoh terkenal yang menginspirasi.

Kelima, berikan kebebasan pada siswa untuk memilih jalannya sendiri. Terkadang, guru harus membiarkan siswa mengambil setiap kesempatan yang ada, membuat pilihan, dan bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri. Keyakinan bahwa mereka bisa membuat keputusannya sendiri akan menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan harga diri. Misalnya, biarkan siswa memilih kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minatnya.

Terakhir, guru dan orang tua hendaknya bekerja sama dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak. Hal tersebut dapat dimulai dengan menjadikan diri sebagai role model dan memberikan contoh yang baik dalam berperilaku sehari-hari. Sebagai penutup, berikut sebuah kutipan dari Pam Leo yang dapat kita resapi bersama, “You can’t teach children to behave better by making them feel worse. When children feel better, they behave better.”

Meidiana, S.Psi, Konselor SMP Sukma Bangsa Bireuen.

You may also like

Leave a Comment