
Oleh: Saiful Bahri*
Tingkat kepedulian masyarakat terhadap sampah sangat kurang. Masyarakat masih menganggap sepele dalam hal membuang sampah pada tempatnya. Masyarakat masih terbiasa membuang sampah sembarangan, apalagi masyarakat yg tinggal dekat dengan sungai, mereka selalu membuang segala jenis sampah ke dalam sungai.
Tanpa disadari semua sampah yang dibuang ke dalam sungai, memperlambat aliran sungai karena terjadi tumpukan sampah yang banyak dan bahkan bisa terjadi banjir ketika musim hujan datang.
Saya pernah punya pengalaman dalam hal membuang sampah pada tempatnya. Saya tinggal di desa yang dekat dengan lueng/anak sungai, setiap pagi ketika saya berangkat ke sekolah untuk mengajar saya selalu membawa sampah rumah tangga yang akan saya buang ke tempat penampungan sampah yang sudah disediakan oleh Dinas Lingkungan Hidup di belakang pasar, ketika keluar dari lorong rumah, saya selalu bertemu dengan beberapa warga sekitar tempat saya tinggal, beberapa warga tersebut selalu tersenyum melihat saya membawa 1 kantong plastik.
Hingga suatu hari beberapa warga tersebut penasaran dengan apa yang selalu saya bawa setiap pagi dalam kantong plastik besar, akhirnya beberapa warga tersebut bertanya langsung ke saya.
Saya menjawab, sampah rumah tangga yang saya bawa setiap pagi ketika mau berangkat ke sekolah dan saya buang di tempat penampungan sampah di belakang pasar yang sudah disediakan oleh Dinas Lingkungan Hidup.
Beberapa warga tersebut terkejut ketika mendengar jawaban dari saya, karena selama ini diduga beberapa warga tersebut yang saya bawa setiap pagi itu kue untuk saya jual di koperasi sekolah, saya tersenyum ketika mengetahui itu.
Beberapa warga tersebut memberitahu kepada saya kenapa gak langsung buang ke dalam anak sungai saja, untuk apa capek-capek bawa ke tempat pembuangan sampah. Kemudian saya menjelaskan ke beberapa warga tersebut alasan saya tidak mau membuang sampah ke dalam lueng tersebut. Beberapa warga tersebut akhirnya paham maksud dari alasan yang saya cerita dan sampai sekarang beberapa warga di sekitar tempat saya tinggal tidak pernah lagi membuang sampah ke dalam anak sungai.
Padahal air merupakan aspek penting dalam kehidupan kita. Salah satunya adalah sungai. Masih banyak masyarakat yang menggunakan sungai untuk mencuci baju, mandi, membersihkan perabotan rumah tangga, dll. Namun, rasanya konyol sekali menurut saya, karena di sisi lain mereka juga membuang sampah ke sungai.
Ini bukan hanya tentang lingkungan, namun juga tentang alam. Apa yang terjadi dengan hewan–hewan air di sungai? Laut? Banyak sekali kasus hewan–hewan laut yang terjerat oleh sampah yang dibuang oleh masyarakat.
Acuh Tak Acuh Terhadap Sampah
Masyarakat pada umumnya masih sangat acuh tak acuh terhadap sampah, dengan mudah membuang sampah sembarangan tanpa merasa bersalah. Saya dengan mudah masih melihat dan menemukan sampah di mana-mana, contohnya di dalam parit, di jalanan, danau, sungai dan laut. Sampah yang paling sering dan sangat mudah saya temukan yaitu sampah plastik itu dikarenakan hampir semua kebutuhan rumah tangga, makanan ringan dan bahan lainnya dibungkus dalam plastik sekali pakai.
Saya masih tidak mengerti dengan pola pikir masyarakat, saya masih sering sekali melihat masyarakat yang membuang sampah sembarangan tanpa merasa bersalah. Mereka melepaskan sampah bekas mereka dari tangannya ke jalanan dengan begitu mudah. Kepeduliaan masyarakat terhadap lingkungan masih sangat kurang.
Kita sering kali mendengar masyarakat marah kepada pemerintah karena tidak bisa menanggulangi banjir ketika musim hujan datang. Namun, apakah masyarakat sadar bahwa kesalahan bukan hanya pada pemerintah namun pada mereka sendiri?
Apa gunanya mencegah banjir dengan inovasi–inovasi cerdas apabila kesadaran masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya masih sangat kurang?
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar menyebutkan bahwa saat ini sekitar 72 persen masyarakat Indonesia masih acuh tak acuh terhadap masalah sampah.
Data tersebut berdasarkan laporan Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018.
Dari laporan itu, Novrizal menuturkan, ada empat item salah satunya berkaitan dengan pengelolaan sampah. “Indeks yang ditetapkan BPS 0 sampai 1 dan indeks yang paling rendah ialah terkait sampah sebesar 0,72 persen,” ujar Novrizal kepada wartawan di Arborea Cafe, Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (21/8).
Novrizal menambahkan, tren sampah plastik akan selalu ada. Pasalnya, plastik tidak dapat terurai dengan cepat bahkan ada yang membutuhkan waktu hingga puluhan tahun.
Novrizal mencontohkan pada 1995 komposisi sampah plastik sempat menyentuh angka 9 persen. Sepuluh tahun kemudian tumbuh menjadi 16 persen. Jadi tanpa ada perubahan perilaku dan kebijakan-kebijakan yang sangat signifikan ya memang luar biasa kenaikannya,” ucapnya.
Untuk itu, KLHK mendorong kepada para produsen seperti perusahaan yang bergerak di consumer goods seperti Unilever untuk ikut bertanggung jawab dalam mengurangi sampah plastik. “Persoalan yang ketiga memang peran tanggung jawab teman-teman produsen seperti Unilever ini juga ada dalam mengurangi persoalan sampah,” ujar Novrizal.
Salah satu langkah yang saya lakukan untuk menjaga lingkungan dan alam yaitu dengan cara mengajarkan siswa-siswi saya di Sekolah Sukma Bangsa Pidie untuk selalu membuang sampah pada tempatnya, dan jika melihat sampah tidak pada tempatnya maka wajib mengambil sampah tersebut walaupun itu bukan sampah mereka, kemudian dibuang kedalam tong sampah. Namun, jika tidak menemukan tong sampah atau tong sampahnya jauh maka sampah tersebut dipegang dulu, ketika nanti menemukan tong sampah baru dibuang serta mengingatkan siswa-siswi juga untuk selalu membawa tumbler atau botol minum.
Sekolah Sukma Bangsa Pidie punya program rutin dalam hal mengkampanyekan peduli lingkungan dan alam yaitu gerakan pungut sampah yang kami singkat menjadi GPS.
Gerakan pungut sampah ini sering kami terapkan di sekolah dan kami juga mengajak siswa-siswi untuk melaksanakan gerakan pungut sampah (GPS) tersebut di luar sekolah yaitu tempat-tempat umum seperti di laut, di parit-parit perkampungan, di Masjid, di area pasar dan di tempat-tempat lain juga.
Sejarah asal mula HPSN yang diperingati 21 Februari adalah bermula dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang mencanangkan untuk pertama kalinya, untuk mengenang peristiwa di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Karena pada tanggal 21 Februari 2005 terjadi peristiwa Leuwigajah, di mana sampah dapat menjadi mesin pembunuh yang merenggut nyawa lebih dari 100 jiwa.
Peristiwa tersebut terjadi akibat curah hujan yang tinggi dan ledakan gas metana pada tumpukan sampah. Akibatnya 157 jiwa melayang dan dua kampung (Cilimus dan Pojok) hilang dari peta karena tergulung longsoran sampah yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah. Tragedi Leuwigajah memicu lahirnya Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang diperingati tepat di tanggal insiden itu terjadi.
Sampah menjadi persoalan yang dihadapi masyarakat global. National Geographic melaporkan masing-masing kota di dunia setidaknya menghasilkan sampah hingga 1,3 miliar ton setiap tahun. Diperkirakan oleh Bank Dunia, pada tahun 2025, jumlah ini bertambah hingga 2,2 miliar ton. Berdasarkan laporan sebuah penelitian yang diterbitkan di Sciencemag pada Februari 2015 menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua di dunia penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok, disusul Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa fakta tentang sampah nasional pun sudah cukup meresahkan. (tirto.id)
*)Penulis: Saiful Bahri Kepala SD Sukma Bangsa Pidie
*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 22/02/2022