Home » Parenting; Mengapa Harus Ayah?

Parenting; Mengapa Harus Ayah?

by pusdatin ssbbireuen

Oleh Basiran, S.Ag. M.A.*

Fenomena yang terjadi saat ini, tidak sedikit keluarga yang memiliki filosofi keliru tentang eksistensi anak. Seringkali keluarga yang hanya memiliki filosofi bahwa kehadiran anak semata-mata akibat logis dari hubungan biologis. Anak dimanja, semua kebutuhan diberikan dengan alasan kasih sayang tanpa memiliki landasan ilmu pengasuhan anak (parenting) yang memadai dan tidak mengetahui dan memahami makna arahan “kitabullah” tentang keberadaan anugerah dari seorang anak. Akhirnya, anak menjadi fitnah (ujian) dan musuh yang nyata bagi kedua orang tuanya.

Kita pasti sepakat, bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama bagi setiap muslim dalam setiap aspek kehidupannya. Al-Qur’an Al Karim, sejatinya adalah petunjuk dan tuntunan bagi seluruh umat Islam yang ada di dunia dari generasi ke generasi. Semua aspek dalam kehidupan dapat kita pelajari dalam Al-Qur’an, termasuk dalam hal parenting. Namun, sangat disayangkan, kalau pernyataan ini hanya tinggal pernyataan tanpa implementasi. Buktinya, siapa yang hari ini bicara tentang parenting dengan merujuk langsung ke Al-Qur’an?

Saat ini, sebagian besar ayah seringkali kehabisan tema pembicaraan dengan anak-anaknya. Sebagian lagi hanya mampu bicara dengan tarik urat alias marah. Ada lagi yang diam saja, hampir tidak bisa dibedakan saat sedang sariawan, sakit gigi, atau memang tidak bisa bicara. Sementara sebagian lagi, irit energi; bicara seperlunya. Ada juga seorang ayah yang saat dia belum selesai bicara sang anak bisa menyela, “Cukup, Yah, saya bisa lanjutkan pembicaraan ayah,” karena rutinitas pembicaraannya yang hanya sekadar basa basi dan itu-itu saja.

Jika begitu keadaan para ayah, maka pantaslah hasil generasi ini jauh dari yang diharapkan oleh peradaban dan agama Islam.

Melalui tulisan ini, kita belajar bersama langsung dari Al-Qur’an. Menggali lebih dalam, untuk mendapatkan mata air terjernih, mata air parenting islami. Panduan untuk setiap ayah dalam mendidik generasi Islam dan tunas bangsa yang kreatif dan bermartabat.

Sebuah tulisan ilmiah menjadi inspirasi pembahasan kita dalam tema ini. Tulisan ilmiah tersebut adalah karya Sarah binti Halil bin Dakhilallah al-Muthiri, untuk meraih gelar magister di Universitas Umm al-Quro, Mekkah, Fakultas Pendidikan, yang berkonsentrasi pada Pendidikan Islam dan Perbandingan Agama.

Judul tulisan ilmiah adalah “Hiwarul Aba’ Ma’al Abna’ Fil Qur’anil Karim Wa Tathbiqaatuhut Tarbawiyyah” (Dialog Orangtua dengan Anak dalam Al-Qur’an al-Karim dan Aplikasinya dalam Pendidikan).

Menurut tulisan ilmiah tersebut, terdapat tujuh belas dialog (berdasarkan tema) antara orang tua dengan anaknya dalam Al-Qur’an yang tersebar dalam sembilan surah. Dalam tema tersebut terdapat dialog antara ayah dan anak sebanyak 14 kali. Berikut rinciannya: QS. Al Baqarah: 130–133 memuat kisah dialog Ibrahim dengan ayahnya dan dialog Ya’qub dengan anaknya, QS. Al An’am: 74 memuat kisah dialog Ibrahim dengan ayahnya, QS. Hud: 42–43 memuat kisah dialog Nabi Hud dengan anaknya, QS. Yusuf: 4–5 memuat kisah dialog Nabi Yusuf dengan ayahnya, QS. Yusuf: 11–14 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub dengan anaknya, QS. Yusuf: 16–18 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub dengan anaknya, QS. Yusuf: 63–67 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub dengan anaknya, QS. Yusuf: 81–87 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub dengan anaknya, QS. Yusuf: 94–98 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub dengan anaknya, QS. Yusuf: 99–100 memuat kisah dialog Nabi Yusuf dengan ayahnya, QS. Maryam: 41–48 memuat kisah dialog Nabi Ibrahim dengan ayahnya, QS. Al-Qashash: 26 memuat kisah dialog Syaikh Madyan dengan anak perempuannya, QS. Luqman: 13–19 memuat kisah dialog Luqman dengan anaknya, QS. Ash-Shaffat: 102 memuat kisah dialog Nabi Ibrahim dengan Ismail.

Dialog antara ibu dengan anaknya sebanyak dua kali terdapat di dalam QS. Maryam: 23–26 memuat kisah dialog Maryam dengan janinnya dan QS. Al-Qashash: 11 memuat kisah dialog ibu Nabi Musa dengan anak perempuannya. Sedangkan dialog antara kedua orang tua tanpa nama dengan anaknya sebanyak satu kali, terdapat di QS. Al-Ahqaf: 17.

Ternyata Al-Qur’an ingin memberikan pelajaran, bahwa untuk melahirkan generasi istimewa seperti yang diinginkan oleh Allah dan rasul-Nya, harus dengan komposisi yang sangat sempurna, seperti yang tertera di atas. Jika kita bandingkan, dialog antara ayah dengan anaknya, lebih banyak daripada dialog antara ibu dengan anaknya. Jauh lebih banyak dan lebih sering, empat belas banding dua.

Pernyataan ini mengandung pesan yang sangat penting mengenai peran serta para ayah untuk ikut berpartisipasi aktif dalam membesarkan putra-putrinya. Para orang tua dibuka matanya untuk lepas dari paradigma menyesatkan yang memberi batas kaku bahwa ayah bertugas mencari uang saja dan ibu mengurus anak saja. Bahkan sejumlah ayat dalam Al-Quran yang lainnya membuktikan bahwa peletakan dasar tauhid dan keimanan adalah tanggung jawab seorang ayah.

Kalau hari ini banyak muncul ayah ‘bisu’ dalam rumah, inilah salah satu yang menyebabkan munculnya banyak masalah dalam pendidikan generasi ini. Para ayah selayaknya segera memaksakan diri untuk membuka mulutnya, menggerakkan lisannya, terus menyampaikan pesannya, kisahnya dan dialognya. Dialog lengkap, utuh dan panjang lebar di dalam Al-Qur’an, hanya dialog ayah kepada anaknya. Bukan dialog ibu dengan anaknya. Diantara dialog yang populer yaitu dialog Luqman dengan anaknya. Sebuah nasihat yang lebih berharga bagi seorang anak dari semua fasilitas dan tabungan yang diberikan kepadanya.

Salah, jika ada yang memahami bahwa dialog ibu tidak penting. Jelas sangat penting dialog seorang ibu dengan anaknya. Namun, pemahaman yang lebih tepat adalah, Al-Qur’an seakan ingin menyeru kepada semua ayah, untuk lebih sering, harus lebih rajin berdialog dengan anaknya dibanding ibu yang sehari-hari bersama sang buah hati. Itulah sejatinya tugas orang tua, apakah berat dan sulit? Sudah pasti. “No pain, no gain, Man jadda wa jada.

Mengapa Ayah, Bukan Ibu?

Ini bukan berarti ibu tidak boleh banyak berdialog dengan anaknya, tetapi lebih ke arah peran ayah harus lebih besar dalam komunikasi dengan anak. Ini seakan Al-Qur’an ingin menyeru kepada semua ayah. “Ayah, engkau harus rajin berdialog dengan anak, seperti dialog Luqman kepada anaknya.” Janganlah jadi “ayah bisu” (sedikit bicara), ayah yang hanya ada ketika menyediakan keperluan anak, ayah yang meninggalkan kepedulian pendidikan dan keteladanan, ayah yang hanya saleh sendirian, ayah yang memercayakan anaknya pada televisi, gadget dan internet tanpa batas, ayah yang egois karena merasa lebih tua, lebih pintar, lebih kuasa, atas anak-anaknya, dan banyak lagi.

Akhirnya, semua proses “melahirkan” anak yang berakhlak mulia diawali dari hubungan batin antara orang tua dengan Sang Pencipta (melalui doa) dan hubungan komunikasi (dialog) yang baik dengan anak. Jika salah satu atau keduanya buruk maka hasilnya buruk pula. Allah Swt memberikan petunjuk dan pelajaran dalam Al-Qur’an, bahwa untuk melahirkan generasi istimewa (khairu ummah) seperti yang diinginkan oleh Allah dan rasul-Nya, diperlukan dialog orang tua dengan anaknya seperti komposisi yang tertera di dalam kitabullah di atas. Jika kita bandingkan, ternyata dialog antara ayah dengan anaknya, lebih banyak daripada dialog antara ibu dengan anaknya.

Inilah mungkin jawaban mengapa seorang anak gadis yang masih belia mudah jatuh dalam “pelukan” laki-laki yang bukan suaminya, bahkan melabrak hal-hal yang dilarang agama. Ini juga yang membuat anak laki-laki selalu memberontak bahkan durhaka kepada ayahnya, karena mereka telah kehilangan sosok ayah yang melindungi, mengayomi, yang kuat, dan yang dihormati. Maka akan mengakibatkan mereka tidak memiliki rasa takut lagi atas peringatan dan ancaman ayahnya, apalagi hukuman Allah Swt.

“Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan: 74)

Maka jika ada sosok ayah yang bertanggung jawab dan ibu yang penuh kasih sayang, yang dengan pemahaman Islam yang baik sering berdialog dengan anak-anaknya sejak dini, maka akan muncul anak-anak yang berakhlakul kharimah, taat kepada Allah dan yang mencintai Rasulullah, serta berbakti pada kedua orangtuanya. Wallahu a’lam bis-shawab.[]

Penulis adalah guru PAI dan Budi Pekerti SMP Sukma Bangsa Bireuen

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 15/03/2021

You may also like

Leave a Comment