Home » Pendidikan setelah Pandemi seperti Apa?

Pendidikan setelah Pandemi seperti Apa?

by pusdatin ssbbireuen

Oleh Riazul Iqbal*

Didiklah anak-anakmu, sesuai dengan zaman mereka (Imam Syafiie).

Perubahan dunia begitu cepat terjadi, betapa banyak hal yang sudah kita pikir mapan, bisa sebentar saja terdisrupsi oleh cara baru yang rupanya lebih mapan lagi. Yang gagal beradaptasi dan berinovasi, terus tergilas zaman. Tak terbayangkan betapa hebatnya dulu Nokia dan Blackberry, tapi mereka harus gulung tikar karena gagal berinovasi dan tidak mau berkolaborasi.

Sekarang Matahari Store, yang kita anggap sudah sangat hebat, rupanya harus tutup gegara ada gerai kecil tapi banyak dan lengkap, sehingga mereka harus mundur dari pasar. Di dekat kita di Aceh, kita lihat bagaimana kilang padi yang dulu berjaya, menghasilkan toke-toke padi yang kaya raya, kini harus kalah dari ‘pabrik’ padi mobile. Dari dunia pertanian juga, akibat mahal dan langkanya pemotong padi manusia, kini mesin canggih pemanen padi sudah masuk ke sawah-sawah di seluruh Aceh.

Disrupsi terjadi di mana-mana, di dunia perfilman misalnya, bioskop kini dikalahkan oleh TV berbayar yang sudah mampu membuat film sendiri, Netflix, Disney +, Hulu, dan lain-lain.

Namun, di dunia pendidikan di Aceh tampaknya tidak banyak perubahan, bangku dan papan tulis terkadang masih di posisi sama sejak nenek moyang kita menempuh pendidikan, sedikit perubahan yang terjadi hanya kapur yang kini berubah menjadi spidol, sehingga para guru tak lagi mengidap TBC saat pensiun. Begitu juga cara nelayan menangkap ikan, tidak ada perubahan yang relevan dan signifikan, masih dengan sistem dan perahu yang sama. Sehingga ikan-ikan kita banyak dicuri negara lain, yang punya kapal lebih canggih. Hanya kurikulumnya yang berganti nama dalam dunia pendidikan.

Jika kita gagal berinovasi, maka kita akan kalah suatu saat dengan sistem pendidikan yang lebih maju.
Kita tahu bahwa sistem pendidikan kita mencetak para pencari kerja, bahkan ada kampus yang bisa dapat kerja lebih cepat, walaupun harus bayar mahal, orang Aceh berbondong-bondong ke sana. Saya pernah mendengar dosen saya bilang, tamatan strata satu, harusnya mereka menciptakan lapangan kerja setelah lulus, bukan malah mencari pekerjaan. Kalau mau bekerja di tempat orang, itu kuliahnya di diploma.

Untuk meminimalisir masalah pendidikan yang terjadi di negara kita, perlu kita pertimbangkan lagi apa hal-hal esensial yang wajib diketahui anak-anak demi masa depannya lebih terarah. Pertama, mengajari anak cara belajar. Di masa pandemi ini anak-anak hanya diberikan materi, lalu diberikan tugas. Para siswa merasa ada yang hilang dalam pembelajaran model daring ini, sebagaimana kita tahu, setiap anak itu spesial, dan beragam cara belajarnya. Dan belajar mengumpulkan tugas dengan cara daring, bukanlah belajar yang menyenangkan. Learning loss yang diderita anak-anak sekarang ini, membuat mereka gagal tahu cara belajar yang baik.

Kedua, yang esensial harus diketahui anak adalah mau jadi apa dia di masa depan. Ada sebuah program yang sangat saya sukai di Sekolah Sukma Bangsa Pidie sebelum pandemi adalah Career Day. Acara sehari ini berguna untuk mengenalkan pekerjaan kepada anak-anak sejak dini. Mereka disosialisasikan kepada berbagai pilihan profesi yang populer yang ada di lingkungan sekitar. Kami mengundang polisi, tentara, pemadam kebakaran, dokter, musisi dan berbagai orang dari profesi berbeda agar siswa bisa mengenal lebih dekat dengan orang-orang yang sudah berada di cita-cita mereka.

Ketiga, setelah menentukan cita-cita mereka, siswa juga perlu tahu sejak dini literasi keuangan. Ini yang luput dari sistem pendidikan kita dan menjadi penyebab kenapa negara kita belum menjadi negara kaya. Penyebabnya tak ada diajarkan cara mengatur keuangan sejak dari bangku sekolah. Tidak hanya literasi keuangan, literasi berlalu lintas juga hanya diajarkan di sekolah khusus atau ada program khusus dari kepolisian yang datang ke sekolah. Makanya banyak sekali jiwa bangsa terenggut di jalan raya, akibat tak ada literasi berlalu lintas dan tak ada batasan jumlah kendaraan yang diatur oleh negara di setiap daerah.

Terakhir, adalah literasi kesehatan. Di negara Eropa dan beberapa negara yang peduli kesehatan warganya seperti Jepang, pendidikan tentang kesehatan seperti pola makan dan aktivitas sudah diajarkan baik oleh orang tua maupun guru di sekolah. Bagaimana menjaga tubuh dan apa yang dibutuhkan tubuh di saat yang bagaimana. Misalnya untuk pelajar, siswa perlu mengonsumsi kalsium. Di saat ingin belajar dan membuat tugas, perlu minum susu. Sedangkan kalau ingin berkegiatan yang bergerak, makanan apa yang harus di konsumsi, literasi untuk itu tidak sampai ke siswa. Hanya para ahli saja yang tahu dan kita dapati orang Indonesia banyak yang menderita penyakit disebabkan salah mengonsumsi makanan. Misalnya mengonsumsi makanan bukan saat yang tepat dan menyebabkan banyak orang obesitas. Di negara tidak maju, hanya perut warganya yang maju.

Sementara bagi guru, ingatlah bahwa kita berada di zaman berbeda dengan murid kita sekarang. Era sekarang adalah era media. Kadang anak-anak tidak masuk lagi ke kepala mereka kalau diajarkan secara text book, yang mengajari anak-anak kita sekarang adalah YouTube, Tiktok, dan film-film yang mereka tonton.
Sudah selayaknya para guru berbenah diri, menghadapi anak-anak generasi Z ini. Sebagai orang-orang yang dititipkan untuk membimbing generasi Z, kita harus menjadi suri teladan yang baik, paham akan psikologi anak, dan menyiapkan materi ajar sesuai dengan zaman mereka.[]

Penulis adalah guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 21/06/2021

You may also like

Leave a Comment