Oleh Kartika Hakim, S.S., M.A.*
Presiden Jokowi secara resmi telah memperpanjang status pandemi Covid-19 di Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2021 yang diteken pada 31 Desember 2021 lalu. Sejumlah tantangan yang selama ini dihadapi oleh berbagai lapisan masyarakat sepertinya akan terus berlanjut. Dalam bidang pendidikan, tantangan-tantangan dimaksud akan dihadapi lagi oleh para siswa, guru, orang tua, serta para pemangku kepentingan lainnya. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi dampak pandemi ini. Program vaksinasi sudah mulai masif dilaksanakan untuk mahasiswa, pelajar tingkat SMA, SMP, dan baru-baru ini untuk siswa SD. Persentase pelaksanaan vaksinasi peserta didik dan tenaga pendidik menjadi syarat untuk membuka sekolah secara penuh walaupun tetap dengan durasi maksimal enam jam. Pola pembelajaran yang dilakukan selama hampir dua tahun pandemi ini seyogianya memberikan efek yang konstruktif dan menjadi cermin bagi peningkatan kapasitas guru dan kemandirian serta kebermaknaan belajar peserta didik pada masa mendatang.
Selama masa pandemi, sebagian besar guru diharapkan mampu membiasakan diri dan menjadikan teknologi sebagai media untuk tetap terhubung dengan peserta didiknya dan sebagai media pembelajaran. Bagi yang memiliki keahlian teknologi, tentunya hal tersebut tidak menjadi kendala. Namun, bagi mereka yang belum dan bahkan tidak pernah memanfaatkan teknologi sebagai salah satu media belajar, hal ini hanya tentu menambah beban mereka. Pemerintah tentunya juga telah mengusahakan solusi terhadap tantangan ini. Namun, yang tak kalah pentingnya adalah apakah selama masa pandemi cara mengajar guru dan cara belajar siswa masih sama? Sebagian besar respons siswa, guru, maupun orang tua terhadap persoalan tersebut ialah bahwa mereka masih membutuhkan pembelajaran tatap muka secara konvensional di samping pembelajaran daring.
Penggunaan platform teknologi pendidikan seperti Ruangguru, Quipper, Google Classroom, Microsoft365, e-learning, atau moodle memang sangat membantu, tetapi bukan tanpa kekurangan. Tidak sedikit didapati kendala di lapangan antara lain penggunaan platform tersebut hanya dimanfaatkan sekadar untuk memudahkan guru memberikan tugas secara daring dan siswa hanya tinggal mengunggah tugas mereka. Belum lagi bila guru kurang kreatif atau tugas yang diberikan tidak merangsang daya berpikir tingkat tinggi siswa. Hal ini hanya akan memperparah ketidakefektifan belajar siswa terlebih bila tidak adanya umpan balik yang diberikan oleh guru kepada mereka. Tersedianya beberapa platform teknologi pendidikan ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah mereka yang melek teknologi. Menurut survei yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa 59 persen penduduk Indonesia merupakan pengguna aktif media sosial, tetapi tidak mengisyaratkan bahwa tingkat literasi digital mereka juga tinggi.
Perubahan pembelajaran dari metode tatap muka secara konvensional yang mendadak harus berubah menjadi pembelajaran jarak jauh menimbulkan kesadaran bahwa ternyata pembelajaran sebenarnya tidak harus selalu dilakukan di ruang kelas. Hal ini menumbuhkan rasa optimis bahwa ada kemungkinan pembelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah bisa dilakukan dengan dua cara yaitu tatap muka dan daring atau lebih dikenal dengan istilah hybrid learning atau blended learning. Namun, setahun sejak terjadi pandemi, keluhan dan kejenuhan bahkan masalah mental health muncul. Berbagai alasan mengemuka antara lain siswa tidak dapat bertemu dengan teman-temannya layaknya hari-hari normal. Siswa juga merasakan pembelajaran daring dan/atau tatap muka terbatas menyebabkan mereka kesulitan belajar dan memahami pelajaran. Alasan lainnya selama pembelajaran daring guru terkadang tidak bisa memberikan penjelasan rinci karena terbatasnya waktu dan umpan balik yang mungkin tidak dapat diberikan secara maksimal.
Memasuki masa ketika hampir sebagian besar sekolah akan membuka pembelajaran tatap muka 100 persen, penting untuk memastikan siswa dan guru tidak terlena dengan beberapa fleksibilitas yang diberikan selama pandemi, antara lain kelonggaran menggunakan berbagai kurikulum yang tersedia baik itu Kurikulum Nasional 2013, kurikulum darurat (penyederhanaan Kurikulum 2013), atau yang paling terbaru adalah Kurikulum Prototipe. Kurikulum darurat yang banyak digunakan tidak mewajibkan guru untuk menuntaskan keseluruhan Kompetensi Dasar (KD). Melalui opsi ini, sekolah khususnya guru dapat lebih menekankan pada pemahamaman materi secara mendalam. Akan tetapi, guru yang tidak memahami esensi dari kurikulum darurat ini akan membuat pembelajarannya tidak mendalam dan dengan waktu tatap muka yang terbatas, peserta didik malah berpotensi tidak menyerap dengan baik pembelajarannya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sekolah atau guru dapat menggunakan atau memanfaatkan model pembelajaran Project Based Learning (PBL) atau pembelajaran berbasis projek.
Project-Based Learning
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ini mendorong siswa untuk aktif menggali permasalahan hidup sehari-hari yang sedang update di kalangan mereka atau dalam lingkup yang lebih luas. Barak (2012) menjelaskan bahwa PBL dapat meningkatkan daya self-regulated learning (pembelajaran atau kemampuan meregulasi diri) dan pemahaman konseptual peserta didik karena adanya proses yang sistematis dalam mendokumentasikan dan merefleksikan proses pembelajaran. Sebuah penelitian dari Hee-Shin (2018) juga menemukan bahwa project based learning memberikan pengaruh yang positif bagi siswa dan meningkatkan keterampilan kooperatif karena peserta didik berperan lebih aktif untuk merencanakan, mencari solusi dan melakukan kolaborasi.
Penerapan model project based learning dapat dimulai dengan perencanaan yang dirumuskan oleh dua atau tiga guru bidang studi yang berbeda yang memetakan kompetensi-kompetensi yang ingin dicapai secara terintegrasi. Komunikasi dan dialog yang intens serta kolaborasi mutlak dilakukan oleh guru-guru tersebut. Langkah selanjutnya adalah membuat panduan untuk peserta didik yang berisi tujuan, kompetensi yang akan dicapai, durasi projek, bentuk produk (laporan, presentasi, dll.) serta rubrik penilaian. Proyek yang dilakukan juga diharapkan menantang sehingga setiap tahapan dapat memberikan pengamalan belajar yang menarik bagi peserta didik serta memicu tumbuhnya rasa keingintahuan.
Kesuksesan pelaksanaan project-based learning ini tergantung pada kemampuan guru mendukung, memotivasi dan memandu peserta didik selama proses pengerjaan dan pembelajaran peserta didik yang sebaiknya dilakukan secara kolaboratif. Mergendoller dan Thomas (2005) menambahkan beberapa saran yang dapat digunakan oleh guru untuk mendukung keberhasilan PBL. Pertama, perlu adanya manajemen waktu. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat timeline yang disepakati mulai dari persiapan, proses pengerjaan proyek hingga presentasi atau pelaporan proyek tersebut. Peserta didik juga dapat diajak berdiskusi perihal durasi waktu ini.
Kedua, melakukan sosialisasi atau pemaparan terkait proyek yang akan dilakukan dan menjelaskan panduannya. Panduan ini diharapkan dalam bentuk target-target kecil yang mengarah pada target akhir projek tersebut. Ketiga, membangun budaya yang berpusat pada pengaturan diri peserta didik. Artinya, peserta didik terlibat dalam merancang proyek, membuat keputusan dan didorong untuk terus berusaha dan belajar. Keempat, menekankan pada membentuk kelompok yang dapat menunjang partisipasi seluruh anggota kelompok dan mengikuti setiap perkembangan peserta didik melalui diskusi, pengawasan dan pencatatan. Kelima, memanfaatkan sumber-sumber lain di luar kelas. Penggunaan teknologi, pemilihan terkait sumber-sumber di website-website yang relevan dan mendorong pengembangan kemampuan berpikir kritis. Terakhir, melakukan penilaian dan evaluasi. Penilaiannya tentu saja diambil dari setiap proses mulai dari awal hingga akhir proyek dan disertai dengan refleksi dan umpan balik baik dari peserta didik dan dari guru.
Tentunya, project based learning (PBL) hanya salah satu cara dari beberapa opsi yang dianggap lebih efektif yang bisa digunakan untuk menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna terlebih di masa pandemi. Kemampuan siswa dalam mengintegrasikan pengetahuan dari ragam disiplin ilmu yang dilakukan secara kolaboratif tentu akan sangat membantu perkembangan daya analitis dan kemampuan berpikir kritis mereka yang tentunya menjadi pemicu kemandirian belajar serta motivasi belajar peserta didik. Hal ini semakin baik terlebih bila hasil dan produk PBL dapat berdampak pada pemecahan masalah kehidupan sehari-hari dan menjadi alternatif solusi untuk masalah-masalah tersebut. Wallahu a’lam.[]
Penulis adalah Kepala SMA Sukma Bangsa Bireuen dan Merupakan Alumni dari Program Master Teacher Education, Tampere University, Finlandia.
*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 10/01/2022