Home » Bukan Guru Lontong Basi

Bukan Guru Lontong Basi

by Pusdatin
0 comment 167 views

Oleh Siti Hajar, SPd.I., M.A., Gr*

Sama halnya seperti saya, beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah online workshop bertajuk Best Practice Pengembangan Profesi Kepala Sekolah & Guru untuk Menyiapkan SDM Unggul yang diikuti oleh kepala sekolah dari seantero wilayah Aceh, baru pertama kali juga mendengarkan istilah “guru lontong basi” dari salah satu ungkapan yang diilustrasikan oleh narasumber, Dr. Aan Fardhani Ubaidillah, M.Pd, seorang trainer nasional diklat penguatan kepala sekolah. Mendengar istilah ini, sontak saya berpikir pasti ini adalah negative labeling untuk sang guru dengan kriteria tertentu. Setelah lebih lanjut mendengarkan paparan beliau tentang ciri-ciri guru lontong basi, benar dan sesuailah dengan apa yang saya asumsikan. Menurut beliau, guru lontong basi adalah sebuah istilah/label yang sudah familier dalam dunia pendidikan zaman now untuk menganalogikan seorang tenaga pendidik yang mempraktikkan kegiatan belajar mengajar dengan metode pengajaran jadul atau konvensional. Guru men-treatment anak didiknya dengan berpegang teguh pada pengalaman ia sekolah dulu. Guru sama sekali tidak terbuka terhadap segala perkembangan dan perubahan pendidikan yang kekinian.

Sementara itu, seorang founder motivator pendidikan.com, Namin AB Ibnu Solihin, melalui akun chanel YouTube dan blog miliknya, juga memaparkan setidaknya ada beberapa ciri-ciri kepribadian guru yang termasuk dalam gaya mengajar guru lontong basi di antaranya: 1) guru masuk kelas dan menginstruksikan anak didik untuk buka buku halaman sekian, kerjakan, dan guru hanya duduk diam saja di tempat; 2) guru suka teriak-teriak dan marah-marah di sepanjang jam belajar sehingga kelas menjadi tegang; 3) guru cenderung menerapkan punishment dan ancaman seperti menjemur anak di terik panas lalu hormat bendera, berdiri di sudut kelas, memukul tangan anak, dan semisalnya; 4) guru suka bercerita tentang hal itu-itu saja sebagai akibat dari kurang membaca dan kurang wawasan sehingga murid menjadi remeh dan bosan; 5) posisi duduk peserta didik saat proses belajar seperti dalam susunan bus setiap hari, tanpa ada variasi dan modifikasi; 6) guru cenderung pesimis dan tidak mau membuka diri dan pikiran terhadap hal-hal yang baru.

Sepintas terlihat tidak ada yang salah dengan cara pola mengajar guru tipe ini, jika siswanya hidup dan belajar di era 70-an, 80-an, dan 90-an karena memang semua efektif, relevan, dan sesuai pada zamannya. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembang pesatnya teknologi, gaya belajar mengajar tipe ini sudah out of the time, tak cocok lagi dengan karakteristik peserta didik sekarang yang notabenenya mereka adalah para generasi digital natives. Marc Prensky (2001), seorang konsultan pendidikan asal Amerika, dalam artikelnya Digital Native Digital Immigrant menyebutkan bahwa ada kesenjangan antara siswa yang lahir sebagai digital natives dalam dekade terakhir abad ke-20 dengan pendidik yang menggunakan metode lawas untuk mengajar siswanya. Oleh karena itu, sudah waktunya para guru yang masih aktif debut dan sepak terjangnya di dunia pendidikan, tidak peduli tua atau muda harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan pendidikan saat ini atau yang lebih dikenal dengan model pembelajaran abad 21 yang hingga kini terus digaung-gaungkan di seluruh penjuru dunia.

Praktik sederhana pembelajaran abad 21 ditengarai dengan keinginan guru untuk memacu diri dan meningkatkan self-motivation, serta say no to “gagap teknologi” demi peningkatan kapasitas diri untuk mengejar ketinggalan dan menghadapi tantangan dalam pembelajaran saat ini. Selain itu guru juga harus menerapkan pembelajaran yang mengedepankan pemanfaatan teknologi yang dari waktu ke waktu terus meroket. Pembelajaran yang menerapkan keterampilan, keahlian, atau kompetensi yang harus dimiliki anak-anak sejak usia dunia sekolah yang dikenal dengan istilah 4C skills of learning (creativity, critical thinking, collaboration, and communication). Dengan adanya hal ini, lambat laun label guru lontong basi akan terkikis dari seorang guru jika semangat untuk terus belajar tetap ada dan masih terus menyala. Sudah pasti pula guru harus memutar 180 derajat cara pandang dan cara berpikirnya agar mampu mengenali setiap kebutuhan dan keunikan anak didiknya. Guru yang tetap kekeh mengajar dengan pola zaman old akan kewalahan menyesuaikan setiap proses pembelajaran dengan segala perencanaan yang tidak relevan lagi. Guru akan tampak lebih tertinggal baik dari segi ilmu pengetahuan dan wawasan para siswanya yang sudah mahir dan terbuka akan segala informasi yang serba cepat walau kadang belum tentu tepat.

Ada penawar (red-solusi) dari permasalahan ini, yaitu melakukan transformasi diri guru dari label guru lontong basi menjadi guru kreatif dan inspiratif. Tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar walaupun usia sudah agak senja. Jangan pernah ada kata malas untuk belajar walaupun beban pekerjaan sudah berat. Karena menjadi kreatif itu adalah tentang awareness dan willingness. Siapa pun, baik guru maupun siswa, dalam kondisi apa pun semuanya memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi kreatif. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Robert J. Stenberg dalam Creative Thinking in the Classroom (2003) menyatakan bahwa kreativitas itu bukanlah hanya soal kepandaian atau inteligensi, akan tetapi proses yang dapat dilatih secara kontinyu dan konsisten.

Menyadari akan hal ini, setiap satuan pendidikan mestinya terus berupaya untuk melahirkan para tenaga pendidik yang up to date sesuai kebutuhan siswa dan perkembangan zaman. Banyak program pelatihan, short course, seminar/webinar, bahkan beasiswa hingga program teacher exchange dapat ditawarkan, difasilitasi, dan dijadikan sebagai program rutin oleh setiap sekolah demi meng-upgrade kapasitas diri para guru agar makin relevan dengan tuntutan pendidikan saat ini. Selain itu, sekolah juga dapat menciptakan dan mengaktifkan wadah pembelajaran untuk para guru dengan mengasah potensi, ajang pengembangan diri, penyaluran hobi, dan bahkan kelas belajar bagi guru. Hal ini bertujuan untuk mempelajari hal-hal baru yang sebelumnya belum diketahui satu sama lain.

Dalam sebuah pertemuan singkat antara pengurus yayasan sekolah Sukma Bangsa dengan para guru, Ahmad Baedawi (Direktur Eksekutif Yayasan Sukma), menegaskan bahwa pada hakikatnya guru datang ke sekolah bukan untuk tugas mengajar semata; merasa diri adalah sumber belajar tunggal yang sudah tahu segalanya; tidak perlu mengulang materi karena topik yang akan diajarkan sudah di luar kepala; dan sudah merasa puas dengan hasil sebelumnya. Akan tetapi, guru juga akan mengalami proses belajar saat ia berinteraksi, berdiskusi, dan saling berbagi pengetahuan, keterampilan, bahkan pengalaman bersama para siswa. Oleh karena itu, para guru seyogianya mengubah perspektif dan cara berpikir akan tujuan hakiki dari pembelajaran itu sendiri. Setiap saat dinamika di dalam kelas itu pasti tidaklah sama. Posisi siswa sebagai subjek dalam pembelajaran juga tidak selamanya dengan kapasitas, intake, atau daya tangkap yang sama. Sehingga inovasi, kreativitas, dan modifikasi itu menjadi penting untuk selalu ditimbang dan dikembangkan terus oleh guru agar mampu mengakomodasi situasi dan kondisi anak didiknya dengan segala kebutuhan, keunikan, perbedaan, dan potensi mereka masing-masing. Jadilah guru kreatif dan inovatif untuk menciptakan kelas yang menyenangkan, nyaman, dan bahagia. Selamat mencoba![]

Penulis adalah Kepala SMP Sukma Bangsa Lhokseumawe, Alumnus Master Tampere University, Finlandia

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 29/03/2021