Oleh: Nailul Authar, S.H.,M.A*
Panasnya percaturan politik Indonesia akhir-akhir ini bagaikan bola panas yang terus menggelinding menerjang segala aspek dan elemen masyarakat Indonesia.
Segala hal dalam kehidupan menjadi bahan baku isu yang terus dibicarakan dan selalu dihubungkan sebagai aspek politik. Dari mulai isu yang kesejahteraan, keadilan, penegakan hukum bahkan hal-hal yang menyerempet unsur SARA menjadi objek pembincangan dalam setiap debat politik baik di media massa maupun di media sosial.
Segala informasi baik itu fakta maupun hoax ditebar oleh orang-orang tertentu di media sosial untuk menggiring opini masyarakat sehingga pemikiran mereka dapat arahkan untuk condong berpihak pada aspek-aspek yang dibicarakan.
Derasnya sebaran arus informasi politik di media sosial menjadi makanan yang empuk bagi setiap elemen masyarakat di Indonesia untuk menjadi sumber dan acuan diskusi mereka.
Informasi-informasi tersebut juga secara luas dapat juga diakses oleh para remaja yang untuk generasi milenial ini sangat mahir dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Mereka dapat dengan mudahnya mengakses semua hal melalui gawai mereka. Aturan tentang pelarangan berkampanye politik praktis di dalam lingkungan pendidikan, sepertinya menjadi sia-sia karena informasi yang masuk sekarang tidak lagi secara langsung ke sekolah akan tetapi masuk melalui gawai-gawai yang ada di tangan mereka. Peran seorang guru kemudian menjadi ganda, selain harus tetap menjaga sekolah agar bersih dari setiap kampanye politik praktis juga harus mengarahkan para siswanya agar dapat memverifikasi setiap informasi di dunia maya secara komprehensif agar informasinya yang diperoleh akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pengalaman menjadi guru menghadapi anak-anak milenial ini khususnya di mata pelajaran ilmu sosial sering kali menjumpai pertanyaan-pertanyaan dari siswa berkaitan dengan proses politik yang berkembang saat ini di Indonesia.
Luasnya media informasi yang mereka bisa akses melalui dunia maya memberikan dampak yang sangat besar dalam kegiatan pembelajaran. Pertanyaannya yang seringkali muncul adalah berkaitan dengan hal-hal politik, ekonomi, dan sosial budaya. Otomatis menjadi seorang guru, apalagi guru pelajaran ilmu sosial harus terus memperbaharui pengetahuan dan informasi tentang dinamika politik, sosial, budaya yang berkembang saat ini baik secara global maupun regional.
Pembaharuan ini sangat penting sebagai langkah awal guru untuk memverifikasi informasi-informasi yang tersebar secara daring. Sehingga kemudian kita dapat memilah antara fakta dan hoax dan layak untuk kita diskusikan di tatanan para siswa sekolah.
Pesatnya informasi berkembang dan banyak perspektif pemikiran manusia dalam ilmu sosial harus dihargai sebagai kekayaan ilmu pengetahuan. Ada fakta-fakta yang kemudian bisa didebatkan antara satu teori dengan teori yang yang lain sangat lumrah dalam ilmu sosial.
Dalam perkembangannya persoalan-persoalan dalam ilmu sosial harus merujuk kepada konsep HOTS (High Order Thinking Skill) dan bukan hanya pada level kemampuan mengingat dan menghafal saja. Untuk kemampuan ini para siswa telah memiliki gawai yang dalam hitungan detik dengan mengunakan mesin pencari daring seperti google mereka dapat menjawab dan menyimpannya. Seorang guru baiknya bukan mengasah siswa-siswanya untuk menjadi pengkoleksi RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) saja, akan tetapi harus masuk ke dalam pada level berpikir seperti menganalisa, mengevaluasi dan merefleksikan setiap fenomena sosial yang berkembang saat ini dengan teori dan pola-pola sebelumnya yang ada.
Menurut Jay McTighe and Grant Wiggins dalam artikelnya “Essential Questions Level” pemikiran yang mendalam itu dapat dipetakan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tingkat berpikir tinggi. Kita dapat melihat beberapa ciri-ciri di antaranya; pertama adalah open-ended. Artinya pada level pemikiran esensial (high order) tipikalnya adalah tidak ada satu jawaban yang tunggal dan final. Sebuah persoalan dapat dilihat dari berbagai perspektif yang kebenarannya masih bisa didiskusikan dari sudut pandang-sudut pandang yang berbeda. Sifat sebuah ilmu sosial biasanya non-etis artinya tidak memihak hanya berusaha menjelaskan fenomena yang terjadi berdasarkan perspektif tertentu.
Kedua, biasanya ciri sebuah kajian itu esensial adalah menggugah dan memantik daya pikir dan menarik secara intelektual sehingga memicu diskusi dan perdebatan. Hal ini sebangun dengan aspek kumulatif sebuah ilmu dimana teori-teori sebuah ilmu itu terus diperluas, dipertajam, dikembangkan atau bahkan untuk memperkuat teori sebelumnya yang telah ada.
Ketiga, sebuah ilmu pengetahuan dikembangkan dengan sistem berpikir tinggi seperti menganalisa, menginferensi, mengevaluasi bahkan memprediksi. Kemampuan mengingat saja yang dirasa kurang efektif dalam mengungkap sebuah hal secara mendasar.
Keempat, fokus pada ide-ide yang dapat dibagikan secara umum dan kadang-kadang lintas ilmu pengetahuan. Integrasi ini sangat penting untuk menghindari siswa membatasi diri untuk fokus pada subyek-subyek tertentu saja. mereka harus tahu bahwa dalam kehidupan semua ilmu pengetahuan terintegrasi dan tidak berdiri sendiri-sendiri.
Kelima, biasanya tidak berhenti pada jawaban saja akan tetapi masuk lebih dalam pada alasan, latar belakang, motif, dan pembenaran terhadap jawaban tersebut. Keenam, terbuka. Dapat diartikan persoalan tersebut masih bisa terus didiskusikan terus dimasa yang akan datang dan sangat memungkinkan untuk dapat dikaji ulang kembali.
Dengan kemampuan literasi yang baik para siswa akan memproses sendiri segala informasi yang masuk kepadanya dengan tahapan verifikasi yang ilmiah. Sehingga ketika para siswa berada di sekolah maka diskusi berkaitan dengan fenomena politik, ekonomi, sosial dan budaya akan lebih ilmiah.
Guru tidak perlu lagi terlalu repot untuk memverifikasi informasi-informasi tersebut, karena siswa telah memiliki saringan sendiri untuk menelaah fenomena-fenomena tersebut secara ilmiah.
Walaupun anak-anak usia sekolah secara umum belum memiliki hak untuk memilih, namun pesta demokrasi ini bisa menjadi sarana pembelajaran yang baik bagi para siswa belajar tentang proses politik. Mereka akan secara objektif melihat sebuah fenomena dari sisi ilmiah dan fair tidak terjebak pada isu-isu sara dan mistis dalam memaknai sebuah pemberitaan.
*)Nailul Authar, S.H, M.A., Kepala SMP Sukma Bangsa Pidie, Penggiat Pendidikan yang merupakan Master in Education dari Tampere University, Finlandia.
*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 07/02/2022