Oleh Muchlisan Putra S.Pd., M.Pd.*
Baru-baru ini, dunia pendidikan kembali terpukul atas dugaan pelecehan seksual di salah satu universitas ternama di Sumatera. Dosen yang seharusnya membimbing perihal akademik, dalam hal ini skripsi, malah diduga melakukan tindakan yang tidak senonoh yang sama sekali tidak berhubungan dengan akademik.
Belum lagi kasus intoleransi, perundungan dan lainnya yang terjadi di belahan bumi Indonesia menambah catatan kelamnya pendidikan karakter di negeri kita. Kasus-kasus tersebut mungkin merupakan bagian kecil dari kasus-kasus lain yang tak terungkap dan tak berani dilaporkan oleh para korban.
Dari sekelumit fenomena degradasi moral yang terjadi tersebut, sejatinya semua elemen bersatu padu dalam berkolaborasi demi penguatan karakter di manapun kita berada dan sebagai apapun posisi kita.
Tiga Dosa Besar Pendidikan dan Enam Profil Pelajar Pancasila
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makariem dalam sebuah webinar oleh Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemdikbudristek mencanangkan untuk membasmi tiga dosa besar Pendidikan yakni Perundungan, Kekerasan Seksual, dan Intoleransi.
Puspeka Sendiri dibentuk oleh Kemdikbudristek untuk mendukung dan menyebarkan program penguatan karakter di dunia pendidikan dengan konten-konten seperti video untuk mengampanyekan berbagai budaya dan karakter baik yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, ada 6 profil pelajar Pancasila yang diharapkan menjadi perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Profil pelajar Pancasila tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024.
Adapun 6 ciri utama dari Profil Pelajar Pancasila tersebut adalah: (1) Beriman, bertakwa kepada tuhan yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; (2) Berkebinekaan global; (3) Gotong royong; (4) Mandiri; (5) Bernalar kritis; dan (6) Kreatif.
Program merdeka belajar yang digagas Kemendikbudristek juga mengakomodasi program penguatan karakter. Untuk mengejawantahkan profil pelajar Pancasila, peserta didik dan pendidik harus merdeka belajar dalam artian murid harus mandiri dalam proses belajar dan lingkungan pendidikan harus merdeka dalam menentukan sendiri cara terbaiknya dalam proses pembelajaran.
Selain itu, kebijakan penghapusan UN mulai tahun 2020 dengan berbagai dinamika pro dan kontranya serta menggantinya dengan asesmen nasional untuk siswa kelas V, VIII, dan XI, juga diharapkan menjadi salah satu upaya dalam proses penguatan karakter. Dari 3 bagian dalam asesmen nasional tersebut, selain Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), dua diantaranya merupakan representasi dari upaya pemetaan penguatan karakter yakni Survei Karakter dan Survei Lingkungan Belajar.
Berkolaborasi dalam Penguatan Karakter
Pandemi yang meluluhlantakkan sektor Pendidikan juga dipandang telah menggerus karakter anak bangsa di satu tahun terakhir ini. Sebagai pendidik, kita merasa sangat kesulitan di dalam upaya melakukan transfer knowledge secara daring, apalagi mengajarkan karakter. Namun, upaya dan ikhtiar terus dilakukan dalam melakukan improvisasi kebaikan untuk keberhasilan pendidikan dalam menghindari learning lose dan kemerosotan karakter dengan berbagai cara.
Salah satu dari elemen kunci Bergotong Royong dalam Profil Pelajar Pancasila adalah Kolaborasi. Sebagai individu, suatu pekerjaan akan dirasa berat jika dipikul sendiri (one man show). Konsep kolaborasi menjadi salah satu upaya strategis dalam rangka bekerja bersama agar kegiatan yang dilakukan berjalan lancar, mudah, dan ringan.
Dalam hal penguatan karakter, kita dapat bergandengan tangan mengajak unsur lain bersama mengokohkan penguatan karakter di lingkungan belajar. Setidaknya ada dua elemen dan komponen yang dapat kita ajak untuk berkolaborasi dalam rangka menguatkan karakter yakni (1) kolaborasi antar sesama warga sekolah/kampus; (2) kolaborasi keluarga dan masyarakat.
Di sekolah atau kampus, setiap elemen warga belajarnya harus merancang dan mendesain budaya sekolah yang disepakati dan dilaksanakan oleh semua pihak. Semua warga sekolah atau kampus dari profesi paling tinggi setingkat kepala sekolah atau rektor sampai yang paling rendah misalnya petugas kebersihan harus dengan sukarela menjalankan setiap budaya yang sudah disepakati tersebut.
Di Sekolah Sukma Bangsa misalnya, kami merancang dan mendesain budaya 4no (no smoking, no bullying, no cheating, no littering) dan 5S (salam, senyum, sapa, sopan, dan santun). Semua bersepakat untuk menjadikan 4no menjadi dosa besar jika dilakukan dan akan memperoleh konsekuensi tertentu jika dilanggar. Sehingga tidak jarang siswa Sekolah Sukma Bangsa terbiasa dengan membuang sampah pada tempatnya (no littering) meskipun jika berada di luar sekolah.
Dalam penerapan konsep no bullying, setiap suara individu adalah suatu yang harus dilindungi. Artinya jika ada pihak yang melaporkan sebuah kasus perundungan, maka pihak tersebut harus dilindungi. Bahkan jika yang melaporkan adalah korban, maka privacy dan hak sebagai korban harus dilindungi. Konsep “jangan salahkan korban” harus menjadi hal yang fundamental diperhatikan.
Begitu pula dengan 5S yang kita wajibkan kepada semua warga sekolah untuk menggunakannya saat bersosialisasi dan bertemu dengan sesama mereka maupun kepada tamu yang baru mereka kenal. Sehingga tak jarang, jika ada tamu yang hadir ke sekolah merasa sudah menjadi bagian dari keluarga besar sekolah karena semua warganya menerapkan budaya 5S tersebut. Menariknya, saat berada di luar sekolahpun, kebiasaan baik tersebut melekat dan menjadi bagian dari sikap keseharian warga sekolah dalam berinteraksi di masyarakat sekitarnya.
Konsep kolaborasi dalam elemen ini meliputi bagaimana antar sesama warga sekolah saling mengingatkan untuk membudayakan karakter tersebut. Semua warga akan mengambil peran dan menjadi teladan dari semua praktik baik dan budaya sekolah yang sudah disepakati.
Semua memulai dari diri sendiri dan saling mengingatkan antar sesama. Bahkan, tidak jarang jika guru yang melanggar dan disaksikan oleh siswa, maka siswa tersebut dengan santun mengingatkan para guru-gurunya. Tidak ada sekat dan batas dalam proses penguatan karakter di sekolah. Semua bersinergi dan berkolaborasi untuk saling mengingatkan demi kesuksesan penerapan budaya dan penguatan karakter di sekolah.
Selain di sekolah atau kampus, kolaborasi dalam penguatan karakter juga dapat dilakukan di entitas keluarga dan masyarakat. Sebagai salah satu dari anggota keluarga misalnya, kita dapat membiasakan pendidikan karakter dengan mendisiplinkan anak dalam hal bangun pagi dan mandiri menyiapkan keperluannya. Selain itu, sebagai seorang ayah, memberikan teladan dengan tidak merokok juga menjadi ladang untuk menyukseskan kolaborasi penguatan karakter di lingkungan keluarga.
Terakhir, masyarakat juga menjadi salah satu tempat paling strategis dalam konteks berkolaborasi menguatkan karakter. Struktur dalam tatanan masyarakat memungkinkan penguatan karakter lebih besar dapat dijangkau dan berpengaruh dibanding lingkup sekolah dan keluarga. Dengan didukung perangkat desa dan keuangan yang memadai, kebijakan-kebijakan strategis dapat diputuskan dan dijalankan oleh seluruh masyarakat misalnya dalam hal kesepakatan adat untuk mereka yang melanggar norma asusila dan sebagainya. Sehingga kekhawatiran kita terhadap degradasi moral yang akan terjadi kemudian di lingkungan pendidikan sudah kita minimalisasi sejak dari keluarga dan masyarakat. Semoga kasus-kasus pelecehan seksual, perundungan, intoleransi dapat segera kita basmi dari dunia Pendidikan dengan cara bersama-sama berkolaborasi dalam penguatan karakter. Mari kita mulai dari yang paling kecil, kita mulai dari diri sendiri, dan kita mulai dari sekarang.
Penulis adalah Kepala SMA Sukma Bangsa Pidie, Agen Penguatan Karakter, Puspeka, Kemdikbudristek
*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 15/11/2021