Home » Menyikapi Learning Loss pada Siswa

Menyikapi Learning Loss pada Siswa

by pusdatin ssbbireuen

Oleh Muhammad Syawal, S.Sos*

SATU dari sekian banyak problematika yang muncul setelah adanya Covid-19 ialah terjadinya learning loss. Learning loss adalah suatu kondisi hilangnya kesempatan belajar pada anak didik karena berkurangnya intensitas interaksi dengan guru saat pembelajaran, yang berakibat pada menurunnya penguasaan kompetensi siswa sebagai peserta didik. Sederhananya learning loss dapat dimaknai sebagai bentuk dari hilangnya pengetahuan dan keterampilan pada anak didik.

Pada esensinya, learning loss sudah dialami oleh masyarakat Indonesia secara laten, baik itu diakibatkan oleh kesenjangan fasilitas pendukung di sekolah atau satuan pendidikan pada antarwilayah di Indonesia, konflik, kesenjangan di bidang ekonomi, dan sebagainya. Namun demikian, di masa pandemi Covid-19 ini, learning loss begitu dirasakan oleh para guru, orang tua, dan pemerhati pendidikan.

Kondisi learning loss menjadi begitu mengemuka seiring dengan adanya kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19, yang mana setiap sekolah atau satuan pendidikan diwajibkan untuk menjalankan kegiatan belajar dan mengajar (KBM) secara virtual atau pembelajaran jarak jauh (PJJ). Dalam proses PJJ ini, intensitas pertemuan guru dengan peserta didik berjalan dalam kondisi sangat terbatas dan bersifat maya.

Sebagian besar guru mulai merasakan-–dan bahkan mulai mengeluh–karena materi yang disampaikannya dan diterima oleh para siswa dirasakan tidak berjalan optimal. Di samping itu, motivasi belajar para siswa juga dirasakan sudah menurun tajam. Sebagian siswa yang sebelumnya aktif saat pembelajaran berlangsung malah menjadi pasif saat PJJ berlaku.

Nah, jika dan ketika learning loss ini dibiarkan, maka yang terjadi kemudian adalah lost generation. Bila ini terjadi, maka target bangsa kita untuk menghadirkan generasi emas di tahun 2045 akan menjadi laiknya ‘panggang yang jauh dari api’.

Cara Menyikapi Learning Loss

Lalu, pertanyaannya, bagaimana cara kita menyikapi learning loss?

Pembelajaran Berimbang

Ketimpangan dalam hal infrastruktur pendidikan dan jaringan informasi dan teknologi (IT), kesiapan mental belajar di masa kritis, dan budaya literasi pada peserta didik telah memberikan gambaran jelas pada kita, bahwa bangsa kita belum siap dengan skema PJJ. Oleh karena itu, pembelajaran berimbang adalah opsi yang tepat dan efektif untuk di masa-masa genting seperti ini. Di sini–dalam pembelajaran berimbang—kreativitas dan inovasi dari para pengambil kebijakan di tingkat satuan pendidikan menemukan panggung uji ketangkasannya.

Dalam memberikan pembelajaran yang berimbang, sekolah dapat memadukan pembelajaran daring dengan luring pada setiap pekan yang berjalan. Misalnya, tiga hari daring dan tiga hari luring.

Pembelajaran daring dapat dengan mudah dilakukan oleh para guru, misalnya dengan menggunakan fasilitas platform digital yang ada seperti aplikasi Zoom Meeting, Google Classroom, Googlemeeting, Whatsapp, atau media lainnya.

Sementara pembelajaran luring dapat dilakukan sebagaimana biasanya yakni tatap muka yang sifatnya terbatas di sekolah, yang dalam hal ini interaksi antara guru dan peserta didik tetap bisa terlaksanakan meskipun dalam kondisi yang terbatas pula. Dan untuk sekolah yang berada pada zona hijau atau kuning, maka para guru dapat mengadakan pertemuan tatap muka dengan cara, misalnya, guru melakukan home visit ke rumah peserta didik, khususnya pada mereka yang memiliki keterbatasan atau ketidaktersediaa jaringan IT di daerah mereka.

Saya menduga, learning loss akan muncul dan baru terjadi bila sekolah yang sudah dibebankan oleh masyarakat untuk bertanggung jawab pada sektor pendidikan tidak berupaya untuk menyiapkan kegiatan pembelajaran sesuai kondisi dan situasi semacam ini. Apalagi sampai pada tahap memberhentikan kegiatan pembelajaran atas dasar alasan pandemi. Maka learning loss–nya bisa naik level, bisa jadi lebih parah pula. Nah!

Peran Orang Tua

Diakui atau tidak, bahwa keberhasilan seorang anak dalam menjalani kegiatan pembelajaran di masa pandemi–dengan kebijakan pembelajaran jarak jauh—sangat ditentukan oleh orang tuanya di rumah. Jika selama ini para orang tua mengamanahkan beban tanggung jawabnya dalam menjalani fungsi edukasi dan sosialisasi untuk anaknya kepada sekolah, maka di tengah kondisi seperti ini orang tua harus mau dan siap untuk terjun menangani langsung anaknya, baik memberikan bimbingan atau mengarahkan dan mengawasi dalam proses pembelajaran.

Tentunya baik anak yang usianya masih di tingkat SD, SMP, dan usia SMA memiliki keunikan dan problemnya tersendiri. Maka di sini pula peran orang tua dibutuhkan dalam menyesuaikan bentuk dan besaran porsi peranannya dalam memantau untuk keberhasilan belajar anaknya.

Dua dari banyak langkah yang dapat ditempuh oleh para orang tua dalam mengantisipasi learning loss pada anaknya saat PJJ berlaku antara lain yaitu; pertama, membuat roster harian dan target belajar pada anak. Para orang tua harus berani dan tanpa sungkan membangun komunikasi dengan para guru untuk meminta tabel target pencapaian belajar yang diharapkan oleh guru atau sekolah terhadap anaknya. Lalu target itu disusun dalam sebuah roster oleh orang tua untuk kemudian dijadikan acuan dalam memonitoring anaknya ketika–dan saat– memahami pelajarannya. Di sini orang tua juga berfungsi dalam memastikan anaknya tetap on going dan on target dengan “kurikulum” uniknya.

Kedua, belajar untuk menguasai materi pelajaran anak. Salah satu hikmah dari pandemi ialah adanya peluang bagi para orang tua untuk dekat dan belajar bersama anaknya. Orang tua dengan tingkat pengalaman belajarnya yang sudah lebih mumpuni dibandingkan anaknya dapat dengan mudah untuk belajar dan memahami suatu konten pelajaran. Oleh karenanya, guna mengurangi risiko anak yang tidak memahami materi pelajaran dan kesusahan mereka untuk berkomunikasi dengan gurunya, yang bisa jadi karena dibatasi oleh jaringan atau miskomunikasi dalam penyampaian materi via daring dari gurunya, maka orang tua harus siap untuk menerima posisi sebagai guru bagi anaknya di rumah. Terutama bagi anak yang di level SD, mau tidak mau, seorang ibu atau ayah bagi anak harus menguasai semua pelajaran yang ada di sekolah anaknya. Ini penting, karena seorang anak di level SD belum menemukan formasi belajar yang efektif untuk diri pribadinya–berbeda dengan anak yang di level SMP dan SMA yang sedikit banyak sudah paham dengan cara belajar untuk dirinya.

Dengan dua cara demikian, dan bila orang tua mau terjun untuk mengambil peran, saya yakin learning loss pada siswa dapat diatasi atau setidaknya dapat diminimalisir.

Sebagai penutup tulisan, khususnya bagi pendidik saya berpesan, mari kita ubah pola pikir dan mari hadapi tantangan badai Covid-19 dengan semangat untuk belajar yang lebih kreatif, inovatif, dan kolaboratif. Pandemi jangan sampai menjadikan pendidik mati gaya dan frustrasi. Karena bila sebagai pendidik sudah apatis dan pesimis, maka learning loss –yang pada ujungnya melahirkan lost generation— akan menjadi kenyataan menyakitkan untuk kita terima dalam dunia pendidikan kita. Nyanban![]

Muhammad Syawal, S.Sos merupakan staf pengajar pada SMA dan SMP Sukma Bangsa Pidie

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 30/08/2021

You may also like

Leave a Comment