Home » Anggaran, Kemiskinan, dan Investasi Pendidikan Aceh

Anggaran, Kemiskinan, dan Investasi Pendidikan Aceh

by pusdatin ssbbireuen

Oleh Marthunis Bukhari*

Aceh kembali dinobatkan sebagai provinsi termiskin di Sumatra. Sementara secara nasional, Aceh berada di urutan enam sebagai daerah termiskin setelah Gorontalo. Pemerintah Aceh tampaknya masih saja gagap mengelola anggaran yang besar.

Angka kemiskinan di Aceh berada pada kisaran 15,43% dengan jumlah APBA yang mencapai Rp17,2 triliun pada tahun 2020 (Ajnn.net, 25/09/2019). Bandingkan dengan Bengkulu yang memiliki posisi satu strip lebih baik dari Aceh hanya memiliki APBD sebanyak Rp3,3 triliun pada tahun yang sama (Antaranews.com, 30/11/2019). Satu pembanding lagi adalah Kepulauan Riau (Kepri) yang notabenenya sebagai provinsi terkaya di Sumatera hanya memiliki APBD sebanyak Rp3,9 triliun pada tahun tersebut (Kumparan.com, 27/10/2020).

Mungkin saja akan ada yang membandingkan bahwa jumlah penduduk Kepri jauh lebih sedikit dibandingkan Aceh. Benar, jumlah penduduk Kepri hanyalah 2,2 juta jiwa pada tahun 2020. Namun, APBA sebanyak Rp17,2 triliun tetap saja terlihat banyak untuk mengurusi hajat 5,2 juta jiwa rakyat Aceh saat ini (BPS, 2020).

Sayangnya APBA sebanyak itu ditengarai tidak tepat sasaran sehingga secara substansial tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Bahkan banyak sekali pos-pos anggaran dalam APBA 2020 yang kemudian hanya dinikmati oleh aparatur pemerintahan.

Dalam sebuah diskusi publik yang digagas oleh Institute for Development of Acehnese Society (IDeAs), Munzami, Ketua IDeAs, mengungkapkan bahwa dalam postur APBA 2020, anggaran biaya perjalanan dinas mencapai Rp472 miliar, belanja perawatan kendaraan bermotor Rp66,9 miliar, anggaran jasa kantor Rp424,7 miliar, dan belanja makan minum sebesar Rp138,8 miliar (Acehonline.co, 24/01/2020). Jika ditotal, anggaran yang dinikmati oleh segelintir aparatur pemerintahan saja sudah mencapai Rp1,1 triliun.

Belum lagi akumulasi proyek pembangunan infrastruktur fisik tidak tepat guna yang juga mencapai triliunan. Akhirnya, masyarakat hanya menikmati remah-remah sisa dari APBA. Sehingga tidak mengherankan jika outputnya adalah angka kemiskinan yang tinggi. Pemerintah Aceh sepertinya benar-benar gagap dan linglung dalam mengelola anggaran Aceh yang melimpah.

Contoh lain adalah anggaran di sektor pendidikan. Anggaran pendidikan yang tertuang dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBA 2021 memang bernilai Rp3 triliun lebih atau setara 20,8% dari total anggaran. Namun, yang menjadi persoalan adalah postur alokasi anggaran di dalamnya. Sekitar 88,27% dialokasikan untuk penunjang urusan pemerintah daerah dan program pengelolaan pendidikan yang disinyalir hanya untuk belanja pembangunan yang tidak relevan dengan kondisi pendidikan pasca pandemi Covid-19. Sedangkan anggaran yang dialokasikan khusus untuk pengembangan kurikulum serta program bagi pendidik tenaga pendidik masing-masing hanyalah 0,01% dan 0,03% (Gerakaceh.id, 05/08/2020).

Fakta ini menjadi sangat ironis di tengah-tengah keinginan besar pemerintah Aceh melalui seorang Sekda Taqwallah yang belakangan ini getol betul berupaya untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan Aceh.

Bak nyang gatai, sinan tagaro. Bek gatai bak jaroe, tagaro bak aki—Di mana yang gatal disitu digaruk, jangan gatal tangan yang digaruk kaki. Hadih Maja ini sepertinya cukup tepat untuk menggambarkan manuver seorang Sekda Taqwallah. Jika memang serius ingin memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan Aceh menjadi lebih baik, perbaiki postur alokasi anggaran bidang pendidikan yang cukup banyak itu. Sebagai ketua TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh) semestinya ia paham betul apa yang seharusnya dilakukan, sehingga tidak perlu repot-repot mendengarkan langsung presentasi ratusan kepala sekolah dari seluruh Aceh dengan durasi yang diberikan hanya 1-2 menit saja.

Bagaimana mungkin pendidikan Aceh dapat maju jika yang menjadi indikator tolok ukurnya hanyalah buku kerja yang berisi data administratif dan foto bersama keluarga itu? Bagaimana pula pendidikan Aceh dapat melesat jika anggaran untuk pengembangan kurikulum hanya Rp450 juta dari Rp3 triliun lebih anggaran yang tersedia?

Jangan kemudian para kepala sekolah yang hanya mengelola satuan pendidikan seolah-olah menjadi satu-satunya kambing hitam buruknya kualitas pendidikan di Aceh. Ata han jeut ta meunari, ta peugah tika hana get.

Seharusnya kondisi pandemi ini membuat kita belajar lebih cepat bagaimana disrupsi menyerang hampir semua lini, termasuk pendidikan. Disrupsi teknologi terjadi; hadirnya Artificial Intelligent (AI), big data, internet of things, dampak pada sektor penerapan otomatisasi, dan lain sebagainya. Pola pendidikan dengan pembangunan sumber daya manusia ke arah inilah yang diharapkan dapat dibangun di Aceh ke depan, dan tentu dengan tetap menjaga nilai keacehan dan keislaman yang kita miliki.

Oleh karena itu, pendidikan Aceh harus berbenah dan menentukan roadmap yang jelas serta terukur demi mengantipasi disrupsi dan perubahan yang terjadi begitu cepat. Salah satu jalannya adalah melalui pengembangan kurikulum berdasarkan dinamika perubahan yang terjadi saat ini. Dalam hal ini Aceh memiliki legal standing untuk melakukannya berdasarkan Qanun Aceh Nomor 5 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

Demi menuju ke arah ini, diperlukan investasi besar di bidang pengembangan kurikulum dan dukungan program pemberdayaan pendidik tenaga pendidik yang akan menjadi ruh untuk meningkatkan mutu kualitas pendidikan Aceh. Menurut World Economic Forum, pengembangan kurikulum menjadi sangat krusial karena menjadi kunci yang akan membantu para pendidik untuk menyesuaikan laju perubahan yang begitu cepat, dan membekali peserta didik dengan keterampilan-keterampilan baru yang mereka butuhkan di masa mendatang.

Maka, semoga saja Sekda Taqwallah dapat merevisi kembali pos anggaran untuk pengembangan kurikulum yang minim itu. Agar aksinya yang terlihat begitu peduli pendidikan benar-benar substansial demi kemajuan pendidikan Aceh. Bukan malah aksi koboi pejabat populis.

Sejatinya, investasi yang tepat dan proporsional dalam postur anggaran pendidikan akan bermuara pada proses pembangunan sumber daya manusia Aceh yang mandiri dan memiliki keterampilan hidup yang mumpuni. Jika pemerintah Aceh dapat berinvestasi tepat dalam hal ini, tidak mustahil bahwa angka kemiskinan akan menurun secara signifikan di masa mendatang. Semoga![]

Penulis adalah Pendidik dan Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 25/02/2021

You may also like

Leave a Comment