Home » Guru dan Semangat

Guru dan Semangat

by pusdatin ssbbireuen

Oleh: Muhammad Syawal Djamil, S.Sos*

BANYAK pemikir di dunia telah mencoba untuk mendefinisikan manusia. Kita mulai saja tokoh yang hidup di era Yunani Kuno, Aristoteles, yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai daya pikir. Ernst Cassirer, seorang figur filosofis dari Jerman yang hidup di pertengahan abad ke-20, ikut memberikan pendapatnya tentang siapa manusia. Dalam pandangannya manusia merupakan hewan yang mampu berabstraksi dan menciptakan simbol. Kemampuan itulah yang membuat manusia berbeda dengan hewan, membuat manusia mampu berkomunikasi, membuat manusia mampu mengapresiasi nilai keindahan dan mampu mengembangkan ilmu teknologi dan pengetahuan.

Lalu kemudian ada Ali Syari’ati, seorang sosiolog dan tokoh revolusioner Iran yang sangat dihormati dan dikenal sebagai salah satu cendekiawan termashur abad ke-20 dari Timur Tengah. Ia mengatakan, bahwa manusia adalah ilustrasi atau simbolisasi dari perwujudan manusia pertama, nenek moyangnya yang bernama Nabi Adam A.S, yang tercipta dari tanah atau lumpur dan ruh Ilahi. Dimana tanah atau lumpur sebagai tanda kerendahan atau manusia pasif, sedangkan ruh Ilahi sebagai dimensi gerak manusia yang tidak akan pernah berhenti untuk mencari kesempurnaan.

Itu hanyalah beberapa saja yang saya ingat. Pada intinya untuk mendefinisikan manusia membutuhkan nalar yang tinggi. Saya tidak berani untuk langsung mengiyakan mengenai salah satu definisi tentang manusia sebagaimana diutarakan oleh tokoh-tokoh pemikir di atas. Namun demikian, saya merasa belum lengkap jika kita tidak mendefinisikan manusia itu tanpa memasukkan rasa semangat. Bagaimana jika kita memasukkan rasa semangat sebagai bagian dari definisi siapa manusia? bukankan rasa semangat itu bisa dijadikan sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk lain yang hidup dan beraktivitas permukaan bumi ini?

Harus diakui bahwa rasa semangat merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari seorang individu manusia. Rasa semangat inilah yang menjadi pembeda, tidak hanya antara manusia dengan makhluk lainnya yang hidup dan beraktivitas di muka bumi, melainkan juga pembeda antar sesama manusia itu sendiri.

Rasa semangat ini pula yang membuat performa manusia itu bisa naik dengan setinggi-tinginya dan bisa turun dengan serendah-rendahnya. Sungguh, tak bisa dibayangkan jika seorang manusia hidup tanpa ada rasa semangat.

Nah, dalam konteks yang luas, rasa semangat sebuah bangsa itu menentukan perjalanan atau nasib bagi bangsa itu sendiri. Mari kita contohkan perjuangan nenek moyang kita bangsa Aceh tempo dulu dalam melawan agresi dari bangsa kolonial, baik Belanda, Spanyol, Portugis, dan Inggris semuanya harus angkat kaki dari tanah Aceh. Bahkan seorang jenderal perang Belanda pun menemui ajalnya di Aceh.

Jika kita cermati keadaan pada saat itu, perlengkapan dan teknologi perang yang dimiliki penjajah jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan perlengkapan perang para pejuang Aceh. Dari segi prajuritnya juga kalah jumlahnya dibandingkan prajurit penjajah. Namun demikian, di saat daerah lain sudah takluk dan menyerah pada penjajah. Aceh mampu berdiri tegak dan mengusir penjajah tersebut, yang menunjukkan pada dunia bahwa Aceh adalah bangsa yang kuat. Mengapa bisa demikian? karena semangat orang Aceh saat itu yang sangat tinggi dalam mengusir penjajah. Para pejuang Aceh (nenek moyang) kita dan dengan semangatnya percaya bahwa mereka bisa berjuang melawan penjajah.

Lalu kita lihat lagi bagaimana luluh lantaknya negeri Jepang setelah dibombardir oleh Amerika. Tidak ada lagi yang bisa dibanggakan pada bangsa Jepang saat itu. Segala sarana dan banyak infrastrukturnya sudah tidak bisa difungsikan lagi. Akan tetapi lihatlah Jepang sekarang, mereka telah berevolusi menjadi salah satu negara yang tercanggih di dunia saat ini. Mengapa Jepang bisa demikian? Jawabannya ialah karena semangat yang dimiliki bangsa Jepang yang sangat tinggi. Mereka percaya bahwa mereka mampu melakukan perubahan menuju penghidupan lebih baik dan lebih maju dibandingkan bangsa lainnya.

Nah, sebagai seorang guru yang oleh negara sudah menitipkan beban berat untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa, maka kita perlu menciptakan atau membentuk rasa semangat itu, seperti yang dimiliki dan telah diperlihatkan oleh orang-orang tempo dulu yang sebelum kita. Kita mesti menjadikan sejarah kegemilangan tempo dulu menjadi bagian pembangkit rasa semangat untuk kita guru dalam berjuang dan memberikan yang terbaik bagi kehidupan anak bangsa di masa akan datang.

Maka oleh sebab itulah, sudah saatnya para guru masuk ke kelas dengan penuh semangat dan percaya diri. Meninggalkan segala keluh kesah yang berkaitan dengan problema kehidupan kita di luar kelas (sekolah). Perlu kita garisbawahi juga, bahwa rasa semangat itu tak jauh bedanya dengan Covid-19 –virus yang muncul di Wuhan, Cina– yang dengan cepat bisa menular dari satu individu ke individu lainnya dalam masyarakat.

Semangat yang dimiliki oleh guru juga bisa menular dan ditularkan. Ketika guru mengajar dengan jiwa yang penuh semangat, dimulai dari detik pertama memasuki ruangan kelas, menatap siswa satu persatu dengan aura yang girang hingga akhir pembelajarannya sudah cukup membuat siswa untuk ikut semangat dan antusias dalam menerima pembelajaran sampai detik akhir dari proses belajarnya di sekolah. Begitu juga sebaliknya.

Mengajar memang bukan perkara sulit, tapi juga tidak bisa dikatakan gampang. Mengajar itu membutuhkan semangat. Yakni semangat yang mampu kita tularkan, yang mengubah mood para anak didik kita dari off menjadi on. Sehingga mampu mengikuti semua tahapan proses pembelajaran dengan menyenangkan, yang kemudian membuat ia percaya akan apa yang ia impikan di masa akan datang mampu ia raih –meski tidak semua yaa sebagian. Sehingga ia tidak takut pula untuk memiliki impian dan bercita-cita yang setinggi-tingginya.

*)Penulis merupakan anggota IGI Pidie dan guru SMA Sukma Bangsa Pidie.

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 06/05/2021

You may also like

Leave a Comment