Oleh Asrita, M.A.*
Suatu hari, saat saya sedang serius menatap layar komputer yang menampilkan video penjelasan tentang materi pembelajaran, seorang rekan yang penasaran bertanya apa yang sedang saya kerjakan. Pertanyaan tersebut saya jawab lugas dengan kalimat, “Saya sedang belajar.” Di luar ekspektasi saya, teman tersebut merespons dengan sebuah pertanyaan ekspresif lainnya, “Ibu telah menjadi guru, masih perlu belajar?” Di kesempatan lain dalam sebuah diskusi saya juga pernah ditanya, “Jika seseorang bertanya, mau ke mana Anda, ketika Anda hendak berangkat ke sekolah, apa jawaban Anda?” Secara spontan saya menjawab, “Mau pergi belajar.” Saat itu, mayoritas peserta diskusi lain menjawab mau mengajar, hendak bekerja atau ingin mentransfer ilmu.
Cuplikan dialog di atas menegaskan bahwa ada anggapan dalam masyarakat bahwa guru adalah sebuah profesi paripurna. Ia adalah seseorang yang memiliki kemampuan yang kredibel dan lengkap. Guru dianggap sosok sempurna, yang tentunya telah mumpuni memiliki kemampuan kognitif, psikomotor, dan spiritual. Guru senantiasa digugu dan ditiru, diperlakukan sebagai sumber ilmu sehingga selalu menjadi acuan untuk anak didiknya maupun orang-orang di sekitarnya.
Namun yang lebih disayangkan adalah asumsi keliru dari dalam diri seorang guru. Sosok guru hari ini merasa telah memiliki cukup bekal untuk mencerdaskan anak bangsa. Ia menolak untuk kembali belajar dan mengasah kemampuannya karena merasa diri telah berada dalam posisi kamal. Ia merasa bahwa ilmunya sudah lebih dari cukup untuk menjalankan profesinya sebagai seorang guru. Bahkan kata belajar telah benar-benar dihapus dari dalam kamus besarnya. Guru kok belajar, demikian lebih kurang pandangan batil-nya.
Kok Belajar (lagi)?
Allah Swt menegaskan kelebihan dan kedudukan tinggi bagi orang-orang yang memiliki dorongan untuk terus belajar. Pertama, Allah berjanji akan menaikkan derajat orang-orang yang berilmu. Hal ini terdapat dalam QS. Almujadalah 58:11 yang artinya, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dari kamu sekalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” Janji ini adalah sebuah nikmat dan keindahan hidup yang akan dimiliki seseorang ketika ia terus mencari ilmu. Kemuliaan yang diperoleh tidak hanya di antara sesama manusia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. Banyak orang berilmu yang mendapat prioritas dalam kesempatan. Mereka mendapatkan berbagai gelar kehormatan, penghargaan, dan pengakuan terhadap kapasitas dan kualitas mereka.
Kedua, Al-Qur’an menjelaskan bahwa orang yang berilmu (senantiasa terus belajar) tidak akan termasuk golongan yang merugi. Hal ini tersurat jelas dalam QS. Al Mulk 67:10 yaitu, “Dan mereka berkata sekiranya kamu mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” Saat seorang guru diberi kenikmatan hidup oleh Allah maka hendaknya dapat dimanfaatkan untuk kemaslahan bersama, demikian juga dengan nikmat ilmu pengetahuan. Semua yang dipelajari akan menjadi berkah dan amalan yang akan terus menuntun si empunya ke arah yang lebih baik. Ilmu yang bermanfaat bahkan dijanjikan Allah menjadi sebuah amal jariah yang akan terus mengalir kebaikannya sampai akhir masa. Artinya, ketika kemauan untuk terus mengembangkan diri dan kehausan akan ilmu pengetahuan menggelora dalam diri seseorang,maka orang-orang tersebut akan masuk dalam golongan kaum yang beruntung di dunia ini.
Ketiga, ilmu menjadikan seseorang semakin sadar akan hal baik dan buruk. Saat guru senantiasa menggali lebih dalam akan hal-hal baru di sekelilingnya, ia akan semakin berkompeten memilih dan memilah mana yang menjadi hal positif maupun negatif saat transfer knowledge dilakukannya. Allah berfirman tentang hal ini dalam QS. Fatir 35:28. Seseorang akan memiliki filter saat saat keilmuannya semakin tinggi, ia akan memiliki pemahaman akan efek yang ditimbulkan dari setiap penyampaian (penuturan) maupun perbuatannya.
Fakta tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada sekarang. Orang-orang berlomba-lomba mempublikasikan statement bahkan life style-nya di medsos untuk mencuri perhatian masyarakat. Yang lebih disayangkan adalah fenomena bahwa sebagian besar masyarakat kita hari ini akan menelan mentah-mentah apa pun yang sedang viral di jejaring sosial tersebut tanpa ada proses filterisasi terlebih dahulu. Apalagi memikirkan dampak yang akan muncul baik itu untuk umum maupun dirinya sendiri. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat kita bukanlah masyarakat yang mau belajar.
Dalam ayat-ayat tersebut jelas sekali Allah menyediakan kemewahan bagi siapa pun yang mau belajar, tidak terkecuali guru. Kelebihan belajar itu terpisah dari kelebihan memiliki ilmu. Artinya, jika seseorang yang sudah berilmu namun masih tetap ingin belajar maka ia tetap akan memiliki kelebihan yang utama. Sayyidina ‘Ali pernah berkata bahwa ia akan belajar materi apa pun dengan serius dan terus menerus walaupun hal tersebut telah ia pelajari sebelumnya sebanyak seribu kali. Inilah suri teladan yang harus dijadikan model oleh para guru. Agar meraih semangat untuk menjadi pembelajar seumur hidup (a long life learner).
Menjadi guru yang a long life learner bukanlah hal mudah. Setiap saat pastinya akan senantiasa mendapatkan rintangan. Namun, semua challenge akan terlewati jika guru mampu memompa dan mengobarkan semangat belajar dan mengatasi setiap sandungan dalam perjalanannya. Seperti dikatakan Ahmad Baedowi dalam Calak Edu edisi pertama (2012), guru tidak dibenarkan mati rasa, antisosial, dan arogan cara berpikir dan bertindaknya. Tak ada kesalahan yang dapat ditolerir dalam sebuah rumus. Namun, sebuah kesalahan dalam teori belajar justru merupakan awal dari proses belajar itu sendiri. Maka jangan takut gagal dan tidak malu apalagi ragu untuk berbuat.
Guru yang Belajar
Seorang guru bisa menjadikan beberapa hal–sebagai motivasi intrinsik maupun ekstrinsik–untuk menjadikannya seorang pembelajar sejati. Berikut beberapa suratan yang bisa dimanfaatkan guru sebagai motivasi untuk terus belajar. Pertama, fitrah seorang manusia adalah terus belajar. Sejak dilahirkan sampai hari ini secara hakiki tidak ada sedetik pun waktu yang luput dari kegiatan belajar ini. Allah Swt menegaskan hal tersebut dalam Al-Qur’an yang artinya, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahamulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq 96:1-5). Manusia diberi potensi dan tuntutan untuk terus meningkatkan kapasitas keilmuannya. Tidak pernah berhenti, dimulai dari ayunan hingga ke liang lahat.
Kedua, perubahan yang sangat cepat dan signifikan yang telah terjadi dewasa ini. Semua lini kehidupan mengalami pergerakan dan perubahan menyeluruh. Tak terkecuali di bidang pendidikan seperti saat ini semua informasi dan ilmu pengetahuan tidak dapat dikendalikan lagi perkembangannya. Para peserta didik memperoleh asupan informasi dalam hitungan detik. I Wayan Redhana (2019) menegaskan bahwa abad ke-21 dinyatakan sebagai era pengetahuan, era ekonomi berbasis pengetahuan, era teknologi informasi, globalisasi, serta revolusi industri 4.0. Pada abad ini, terjadi perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi secara sistematis, terstruktur, dan terukur.
Perubahan yang berlangsung sangat cepat ini dapat memberikan peluang jika dapat dimanfaatkan dengan baik, tetapi juga dapat menjadi bencana jika tidak digunakan secara optimal. Guru harus “gercep” menghadapi kenyataan ini. Jika ia kalah cepat apalagi enggan meng-up grade kapasitasnya, maka aura ketertinggalan, kebosanan dan keajekan yang akan dirasakan oleh peserta didik dalam setiap proses pembelajaran. Seterusnya, siswa tidak akan segan melabel sang guru sebagai guru jadul atau guru jaman old.
Ketiga, meninggalkan zona nyaman (comfort zone) dipercaya sebagai salah satu salah satu cara jitu untuk berubah. Untuk itu, guru dituntut selalu memaksimalkan waktunya untuk menjalani proses up-grading walaupun tentunya akan mengorbankan banyak “me time”. Agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuannya, jauh hari sebelum tatap muka guru sudah berjibaku dengan berbagai sumber untuk mempersiapkan diri. Risiko pulang terlambat dengan kepala penuh beban materi sudah menjadi hal lumrah yang dihadapi. Dukungan tim sangat memengaruhi keberhasilan kondisi ini, dan tentunya dukungan ini tidak hanya dari pihak sekolah. Keluarga juga diharapkan berperan maksimal dalam membantu guru menyelesaikan setiap kesulitan yang dihadapi.
Keempat, tantangan dari murid zaman now. Peserta didik yang dihadapi guru hari ini merupakan generasi milenial dan generasi Z yang memiliki ritme hidup serba instan dengan digitalisasi modern. Setiap aspek perkembangan generasi ini dipengaruhi oleh informasi dari gadget-nya. Guru harus mampu mengakomodasi kemampuan generasi milenial dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman. Maka tidak dapat dimungkiri bahwa guru dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis (critical thinking). Guru mampu berpikir secara kritis untuk memecahkan suatu masalah sebelum ia meminta siswa untuk menyelesaikannya. Selanjutnya adalah kemampuan adalah literasi. Seorang guru harus belajar dan menguasai kemampuan untuk mendapatkan, menafsirkan, dan memahami informasi.
Kelima, tuntutan untuk menjadi kreatif. Guru juga mengupayakan untuk meng-up grade diri dalam hal kreativitas, menggunakan sejumlah teknik penciptaan ide yang variatif untuk menghasilkan ide-ide baru. Ia mengelaborasi, menganalisis, dan mengevaluasi gagasan-gagasan untuk memperbaiki dan memaksimalkan setiap usaha-usahanya. Demikian juga yang juga sangat penting adalah kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi. Belajar untuk berkomunikasi secara efektif dengan mengartikulasikan pikiran dan ide-ide kreatif. Ia menggunakan keterampilan komunikasi oral, tertulis, dan nonverbal serta mendengarkan secara efektif untuk memahami makna serta mengembangkan diri untuk bekerja sama dengan orang lain.
Terakhir, guru adalah role model untuk siswanya. Ketika role model tidak dapat memberikan masukan yang positif terhadap targetnya, maka besar kemungkinan ia akan dianggap gagal. Jika siswa tidak melihat gurunya berusaha maksimal untuk belajar meningkatkan kapasitasnya maka janganlah berharap siswa akan berusaha tekun untuk belajar. Generasi milenial apalagi generasi Z sekarang sangat jeli dalam membedakan mana guru yang belajar mana guru yang hanya mengajar. Selanjutnya mereka serentak akan berujar, guru kencing berdiri tentu siswa akan kencing berlari. Dan, sudah menjadi fakta bahwa semakin kita belajar, semakin kita sadar ternyata banyak hal yang masih belum kita ketahui. Jadi,masihkah kebutuhan untuk belajar menjadi sebuah tanda tanya? Wallahu a’lam.
Penulis adalah guru mapel Kimia SMA Sukma Bangsa Bireuen, Aceh
*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 17/05/2021