Home » Menggagas Sekolah Manusia

Menggagas Sekolah Manusia

by pusdatin ssbbireuen

Oleh Fachrurrazi M.A.*

Sekolah yang hakiki bernama sekolah manusia karena menghargai perbedaan, bukan sekolah para robot yang serba seragam dan otomatis. Perbedaan setiap sisi pada manusia (baca: murid) adalah keniscayaan karena secara naluri memang manusia itu diciptakan agar berbeda dalam segala hal, supaya saling mengenal dan menjadi rahmat. Ketika sekolah berusaha menyeragamkan para siswa, pada saat itulah sekolah telah keliru dalam menyikapi, menghargai, dan mensyukuri perbedaaan.

Dalam rangka menjadi sekolah manusia, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Tentunya hal ini dimulai dari hal yang paling penting yaitu pola pikir yang menyetujui bahwa setiap anak itu cerdas menurut keadaannya. Berikut beberapa praktik baik yang bisa dilakukan dalam rangka menjadikan sebuah sekolah insani. Dalam bukunya yang berjudul Sekolahnya Manusia, Munif Chatib menyebutkan beberapa ciri sekolah yang manusiawi.

Pertama, kenali kelebihan, lupakan kelemahan. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memang didesain untuk saling melengkapi, bukan saling mengalahkan. Paradigma yang berkembang hari ini adalah bahwa siswa baru sukses ketika ia mampu mengalahkan sebanyak mungkin siswa lain. Padahal tidak ada yang didapat ketika menjadi juara pertarungan itu. Yang didapat para juara adalah rasa jemawa dan yang didapat yang kalah adalah demotivasi dan hilang kepercayaan diri.

Dengan berfokus pada kelebihan siswa, diharapkan sekolah bisa memanfaatkan hal yang sudah baik tersebut dan menggunakannya untuk memotivasi siswa belajar hal-hal lain yang belum dikuasai. Salah satu metode yang bisa digunakan adalah metode MuItiple Intelligences (MI). Selain guru, metode ini bisa juga digunakan orang tua untuk lebih dekat dengan buah hatinya. Mintalah para orang tua untuk menyebutkan dua saja kelebihan anak-anaknya. Bagi yang dekat dengan para anak tentu hal ini tidak begitu sulit. Namun, betapa malunya orang tua jika tidak bisa menyebutkan dua saja kelebihan dari anaknya. Bahkan mungkin yang lebih sering diingat oleh orang tua adalah berbagai kelemahan anak. Sehingga anak selalu diekspos dengan kelemahannya dan ia terus merasa tidak percaya diri dan akhirnya demotivasi hingga menjadi nakal.

Sementara di sekolah, MI bisa digunakan untuk membantu para guru mengenali potensi siswa. Mengenali potensi siswa adalah salah satu jalan masuk ke dunia siswa tersebut. Jika seseorang bisa masuk ke alam tersebut maka diharapkan ia bisa menggugah sang anak untuk belajar lebih banyak hal. Seorang anak yang cenderung kinestetik maka akan sangat sulit untuk duduk diam di ruang kelas. Maka jika strategi pembelajarannya adalah belajar angka sambil duduk di kelas maka bisa dipastikan akan terkendala dengan anak tersebut. Ia kesulitan untuk menangkap apapun yang disampaikan guru karena memang daya tangkapnya secara auditory sangat lemah/belum berkembang.

Dalam kondisi demikian yang lebih diharapkan adalah guru menggunakan strategi pembelajaran dengan metode kinestetik. Misalnya guru bisa mengajak siswa keluar kelas. Kemudian mengajak mereka untuk mengumpulkan angka-angka yang sudah dipersiapakan sebelumnya dalam bentuk game. Jika demikian yang dilakukan, besar harapan semua siswa akan bisa mencapai indikator pembelajaran karena memang sudah seiring dengan daya tangkap dan gaya belajar siswa. Dengan metode ini, kelas seharusnya bisa dikelompokkan berdasarkan gaya belajar para siswa sehingga guru bisa mendesain lesson plan sesuai dengan karakter siswa di kelas tersebut, bukan berdasarkan hasil tes kognitif saja.

Kedua, lakukan penilaian otentik. Penilaian otentik adalah penilaian yang menekankan pada kompetensi bukan peringkat atau klasifikasi siswa. Selama ini yang dilakukan oleh sekolah adalah penilaian yang sepihak dan hanya terbatas pada penilaian kognitif semata. Padahal sebagaimana yang kita sepakati di atas bahwa siswa cerdas menurut keadaannya. Jadi, salah sekali ketika penilaian yang dilakukan hanya dengan tes saja dan mengabaikan kemampuan siswa di ranah lainnya. Selayaknya, siswa dinilai dari segala domain mulai kognitif, psikomotor, dan afektif. Seterusnya penilaian juga bersifat membandingkan nilai hari ini dengan nilai sebelumnya/semester lalu. Bukan membandingkan nilai satu siswa dengan siswa yang lain.

Penilaian semacam inilah disebut penilaian otentik. Artinya, dari ranah kognitif siswa dinilai pencapaiannya ketika proses belajar, bukan hasil belajar. Seterusnya dari bidang psikomotor siswa dinilai bagaimana mengeksekusi konsep yang dipelajari secara kognitif serta dari domain afektif dinilai bagaimana siswa menjadikan pelajarannya sebagai modal untuk merubah sikap dan kelakuannya. Artinya ada harapan perubahan tingkah laku ketika ia sudah berilmu.

Penilaian ini membantu siswa yang lemah untuk berkembang. Yang lebih ditekankan pada penilaian ini adalah membangun semangat kerjasama bukan untuk berkompetisi berlebihan. Dan tentunya menekankan pada penilaian tiga ranah bukan hanya fokus di ranah kognitif saja. Serta menggunakan variasi alat pengumpulan data berupa tes dan non-tes.

Paradigma ini juga menekankan bahwa tes yang berkualitas adalah tes yang bisa dikerjakan. Karena itu tesnya diharapkan menggunakan media open book. Dengan metode open book ini, guru juga akan “dipaksa” membuat soal dengan kategori Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang berfokus pada aplikasi dan evaluasi bukan Lower Order Thinking Skills (LOTS) yang berfokus pada hafalan dan pengertian. Tes yang baik adalah tes yang mampu mencerminkan kemampuan siswa dalam ranah yang lebih luas bukan tes untuk mengeksplorasi ketidakmampuan siswa.

Karena itu, disarankan ketika seorang siswa tidak mampu menyelesaikan sebuah tes, maka yang dilakukan pertama sekali adalah mengarahkan siswa untuk menjawab soal yang sama dengan cara yang berbeda. Bisa jadi, ada kemungkinan siswa tidak bisa mengerjakan tes tersebut karena tidak sesuai dengan gaya belajar atau gaya komunikasi yang dikembangkan siswa. Karena itu dalam format remedial coba lakukan proses tersebut. Jika siswa mampu menyelesaikan tes menggunakan cara alternatif dengan lebih baik, maka tidak perlu dilakukan remedial test. Silahkan ambil nilai tes yang sesuai dengan gaya yang sedang digemari oleh siswa.

Penilaian otentik juga identik penilaian berbasis proses. Artinya, guru tidak hanya menggunakan ulangan dan ujian di akhir bab atau setelah selesai Kompetensi Dasar (KD) untuk melakukan penilaian. Bahkan penilaian yang lebih disukai adalah dengan metode penilaian berbasis proses. Ketika sebuah KD diajarkan dan direncanakan akan menghabiskan tiga kali pertemuan, maka siswa bisa langsung dinilai untuk proses belajaranya pada hari pertama (D1), hari kedua (D2) dan hari ketiga (D3). Sehingga siswa bisa mencicil dalam ujian dan tidak terbebani dengan ujian bab setelah tiga pertemuan. Hasil atau nilai ujian kompetensi dasar (UKD) adalah rerata penilaian proses pada tiga pertemuan tersebut.

Penilaian otentik juga diharapkan bisa menantang para siswa untuk mendaki hingga tangga terakhir Taksonomi Bloom. Karena itu, soal tes yang baik adalah open book dan HOTS sehingga siswa selalu terlatih untuk menganalisis, mengevaluasikan dan merekonstruksi setiap konsep yang mereka pelajari. Yang paling penting penilaian otentik identik dengan penilaian Ipsative. Yaitu penilaian yang membandingkan perkembangan belajar siswa sebelum dan setelah sebuah kegiatan pembelajaran dilakukan. Penilaian tidak untuk membandingkan siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Karena itu penilaian otentik tidak mengenal perangkingan. Dalam model ranking, hanya eksistensi siswa yang beragking yang dihargai. Dalam model ipsative semua eksistensi siswa dihargai karena semua adalah pemenang. Dari sebelum (belajar) menjadi sesudah (belajar).

Terakhir, menjadi guru profesional. Setelah semua hal terpenuhi, maka hal selanjutnya yang menjadi keniscayaan adalah kesediaan para guru untuk untuk terus belajar menjadi guru profesional. Guru profesional adalah kunci utama kualitas sebuah sekolah. Ia adalah guru yang tidak pernah berhenti belajar. Dan kunci untuk guru yang berkualitas adalah pelatihan guru. Guru tidak hanya cukup membaca metode-metode pembelajaran terbaru. Guru harus dilatih, seperti halnya aktor dan penyair. Demikian kutipan dari Miriam Kronish, Kepala Sekolah SD John Elliot, Massachusetts, Amerika Serikat. Beberapa syarat guru profesional adalah bersedia untuk terus belajar, secara teratur membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebelum mengajar, bersedia diobservasi, selalu tertantang untuk meningkatakan kreatifitas dan memiliki karakter yang baik. Semoga di momen hari guru nasional tahun ini, kita bisa menjadi guru terbaik dan menjadi rekan belajar yang menyenangkan bagi siswa. Wallahu a’lam.[]

Penulis adalah Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 20/12/2021

You may also like

Leave a Comment