Oleh Said Mahfud, S.Tr.T*
Tujuan akhir dari pendidikan ialah untuk menghasilkan individu yang cerdas, inovatif, dan memiliki nilai-nilai kompetitif di segala aspek. Penguasaan hard skills dan keterampilan dalam soft skills juga dituntut untuk berkembang. Guru dalam bagian ini sebagai penyelenggara pendidikan perlu memastikan untuk mengupayakan terjadinya transform of knowledge dan transform of value secara seimbang. Namun, secara umum yang kita ketahui pendidikan di Indonesia saat ini lebih menekankan pada pengetahuan pengembangan teknis atau hard skills dan kurang memberikan keterampilan sepadan yang bersifat soft skills.
Penyebab itu akan berdampak pada rendahnya kualitas hasil pendidikan yang kompetitif serta minim daya saing. Peningkatan soft skills di Indonesia umumnya perlu ditingkatkan. Untuk itu diperlukan kemampuan peserta didik dalam hal mengelola emosi dan ego, menghadapi stres, berkomunikasi, integrasi/kejujuran, menerima perbedaan, dan sebagainya. Itu semua merupakan atribut dari soft skills atau pendidikan karakter siswa.
Dalam dunia pendidikan, terkhusus di masa-masa sekolah, sangat disayangkan jika hanya terlewatkan sebatas mengikuti kegiatan di bidang akademik. Benar memang kelulusan menjadi target bagi setiap siswa yang belajar di bangku sekolah. Namun, jangan juga jauh dari tujuan paling utama dari belajar, yaitu mengembangkan kemampuan, kecerdasan, dan keahlian. Untuk mengembangkan kreativitas pemikiran dan kecerdasan bisa dilakukan dengan mempelajari berbagai macam sumber ilmu dan pengetahuan. Sedangkan, pengembangan pemikiran dapat dengan mudah dilatih jika sering berinteraksi antarsesama, juga aktif di kegiatan nonakademik sekolah.
Pepatah penyesalan datang terlambat terlihat linier dengan kebanyakan kasus yang dihadapi siswa saat ini. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan dan ilmu tentang pengembangan soft skills yang diajarkan ketika masa sekolah. Puncaknya akan terasa ketika mulai menjalankan kehidupan mandiri dan membaur dengan kehidupan sosial di masa depan. Hal tersebut bisa diminimalisir, misalnya dengan menerapkan pendidikan karakter secara perlahan sejak SD, tahap lanjutannya di SMP dan SMA.
Dikutip dari Detik.com, pada tahun 2018 terdapat 504 anak jadi pelaku pidana, dari mulai pelaku narkoba, mencuri, hingga kasus asusila menjadi kasus yang paling banyak. Dalam kasus ABH, kebanyakan anak telah masuk Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) karena telah melakukan kasus pencurian sebanyak 23,9 persen, kasus narkoba sebanyak 17,8 persen, serta kasus asusila sebanyak 13,2 persen, dan lainnya. Bukan hanya kasus-kasus tersebut, berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak, tercatat 62,7 persen remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Terdapat pula hasil lainnya seperti tercatat 93,7 persen peserta didik SMP dan SMA pernah berciuman, 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah melakukan aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat film dewasa (Kompas.com, 2010).
Miris rasanya membaca ragam kasus tersebut yang kebanyakan dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur. Untuk itu, agaknya sosialisasi saja tidak cukup, diperlukan metode pembelajaran yang lebih dari sekadar sosialisasi. Teknik mengajar yang mengikuti perubahan zaman sepertinya menjadi salah satu solusi. Etika dan cerdas dalam pergaulan di dunia nyata dan dunia maya perlu disikapi lebih jauh agar generasi penerus mendapat hikmah dan manfaat dari era digital saat ini
Faktor-faktor yang mendorong sistem pendidikan karakter anak yang lebih baik untuk setidaknya meminimalisir dan menghilangkan budaya yang buruk dari generasi penerus perlu digalakkan lagi. Dalam pusdiklat.perpusnas.go.id, sudah merinci dengan jelas pada Undang-Undang Bab II Pasal 3 Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mana pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan Pasal 1 UU Sisdiknas Tahun 2003 menyatakan di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Berangkat dari undang-undang ini, dapat kita temukan bahwa garis besar dari tujuan pendidikan nasional adalah selain mencerdaskan peserta didik, juga terciptanya karakter peserta didik yang beriman, mandiri, dan berakhlak mulia.
Hakikatnya pendidikan karakter dapat berjalan bersamaan dengan softs kills masing-masing siswa secara progresif. Hal tersebut dapat dilatih dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa untuk sesering mungkin mengikuti perlombaan ke luar sekolah dan mengikuti seminar, juga sosialisasi perihal psikologi. Program sekolah seperti school visit dan public speaking club setidaknya dapat mewadahi kompetensi ini.
Keberadaan institusi formal, seperti sekolah merupakan salah satu media dan wadah yang paling kondusif untuk belajar juga mengasah soft skills seseorang. Ekstrakurikuler juga dapat menjembatani proses peserta didik untuk mengembangkan sotf skills di sekolah. Muatan soft skills ini dapat dimasukkan dalam proses pembelajaran guru, dimulai dari silabus dengan mencantumkan nilai karakter siswa yang harus dikuasai peserta didik, kemudian dalam rancangan proses pembelajaran, yang dikombinasikan dengan kemampuan guru dalam pengelolaan kelas belajar. Hasil akhir dari ini bisa mengasah cara berpikir siswa dengan didikan yang benar, sehingga mereka mampu bersaing untuk semakin berprestasi dan memiliki adab yang baik.
Oleh karena itu, dibutuhkan keterampilan dan keseriusan guru dalam menyalurkan materi dan praktik pembelajaran, sehingga nilai-nilai toleransi, kerja sama, saling menghargai, gotong royong, dan nilai pengembangan diri lainnya tertanam dalam diri anak didik. Kecakapan bergaul dan bermasyarakat atau soft skills dapat ditumbuhkembangkan dari lingkungan sekolah dengan menerapkan berbagai macam metode pembelajaran, misalnya dengan berdiskusi, tutor sebaya, tugas kelompok, dan lain-lain yang dapat membuat peserta didik berlatih berbicara atau berkomunikasi untuk mengembangkan kemampuan secara interpersonal, baik kecakapan bersikap, berbicara, maupun bertindak.
Guru yang hebat juga akan memotivasi siswa agar bisa belajar lebih giat. Kepribadian dari guru akan lebih efektif jika diikuti dengan contoh langsung dari gurunya, dengan kata lain gurulah yang menjadi teladan di sini. Keteladanan ini akan sangat mendukung iklim sekolah, sehingga akan membuat menanjaknya grafik efesiensi keberhasilan pengembangan soft skills peserta didik di sekolah. Oleh karena itu, mari sedini mungkin kita berjuang mendidik dan membina generasi muda untuk mengembangkan kemampuan diri melalui pendidikan karakter, agar tercipta generasi pemikir dan pemimpin di masa mendatang. Karena pendidikan seyogyanya tidak sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan, namun juga mampu merangsang perkembangan ke arah yang lebih baik.[]
Penulis adalah Laboran ICT Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe
*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 13/12/2021