Home » Pendidikan Formal dan Stratifikasi Sosial Keluarga

Pendidikan Formal dan Stratifikasi Sosial Keluarga

by admin
0 comment 257 views

Oleh : Rivanda*

Ilmu pengetahuan dan pendidikan sangat penting bagi umat manusia. Manfaatnya dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab. Dengan mempelajari ilmu pengetahuan, seseorang telah turut serta menyukseskan pembangunan bangsa sekaligus mengikuti perkembangan zaman. Pembangunan senantiasa membutuhkan manusia yang terampil dan mempunyai budi pekerti yang luhur, manusia yang siap pakai, berkepribadian harmonis, baik jasmani dan rohani serta mempunyai keseimbangan antara pendidikan pengetahuan umum dengan pendidikan ilmu agama.

Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mencapai kedewasaannya, sekaligus diharapkan akan membimbing mereka menjadi seorang yang berkepribadian baik dalam melaksanakan tugas untuk kelangsungan hidupnya kelak. Pendidikan akan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar manusia secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Departemen Agama, 2006:5).

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, adalah sebuah sunnatullah munculnya golongan berekonomi kuat dan golongan yang berekonomi lemah. Hal ini muncul dan terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat baik yang disengaja (dikondisikan) maupun yang lahir begitu saja. Walaupun ditengah perbedaan tersebut, setiap orang pasti saling berhubungan dan melakukan interaksi sosial karena manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Individu-individu yang terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda tentu akan membentuk masyarakat yang heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Dengan adanya atau terjadinya kelompok sosial ini maka akan terbentuklah masyarakat yang berstrata, yang dikenal dengan istilah stratifikasi sosial.

Stratifikasi sosial tidak dapat dipisahkan dengan pola kehidupan perkembangan masyarakat, dimana antara satu faktor dengan faktor lainnya mempunyai kaitan seiring perkembangannya. Adanya stratifikasi sosial yang disebabkan faktor ekonomi mempunyai dampak terhadap faktor-faktor lainnya seperti kebudayaan, pendidikan dan lain sebagainya.

Gejala seperti di atas memberikan gambaran bahwa terjadinya stratifikasi sosial di tengah masyarakat akan juga terjadi dalam sebuah keluarga. Hal ini sangat besar artinya bagi aktifitas keluarga itu sendiri dalam kelangsungan kehidupan. Bagi kepala keluarga sebagai orang yang mempunyai tanggung jawab bagi seisi keluarga akan menghadapi problema tersendiri. Tantangan paling berat dalam hal ini tentunya terkait beban moral dalam rangka pembinaan anak dan istri dalam keluarga yang secara fitrah adalah menjadi tanggung jawabnya.

Pendidikan dalam keluarga atau pendidikan informal dapat terlaksana kapan saja dan di mana saja, asalkan ada insan yang berkomunikasi secara sadar dan bermakna, baik secara langsung ataupun tak langsung melalui perantaraan media komunikasi (Soelaiman, 2006:66). Dapat terlaksana kapan saja, dalam arti bahwa pendidikan keluarga tersebut dalam pelaksanaannya tidak terikat oleh jam, hari atau bulan tertentu. Sehingga pendidikan dapat berlangsung setiap saat kapanpun hal tersebut dikehendaki. Terlaksana dimana saja berarti pendidikan informal dapat berlangsung di dalam keluarga, dalam pekerjaan atau pergaulan sehari-hari sejak seseorang lahir sampai mati.

Stratifikasi sosial muncul karena adanya ketidaksamaan status dalam masyarakat. Perbedaan status ini kemudian menempatkan manusia pada strata yang berbeda. Stratifikasi dapat didasarkan pada kekayaan, kehormatan, kekuasaan, dan ilmu pengetahuan. Dalam kehidupan masyarakat sekarang ini masih terasa perbedaan antara golongan bangsawan dan masyarakat biasa. Golongan bangsawan mempunyai hak untuk menggunakan gelar-gelar tertentu yang membedakan berbagai tingkatan di kalangan mereka. Padahal secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi, sesuai kenyataan dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, halnya tidaklah demikian. Perbedaan atas lapisan-lapisan sosial merupakan gejala universal yang merupakan bagian dari sistem sosial setiap masyarakat. Namun demikian, di pihak lain struktur pelapisan sosial sangat penting mengingat bahwa kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan tertentu, dan kemungkinan untuk memperoleh berbagai fasilitas yang disediakan oleh masyarakat sangat dipengaruhi oleh preferensi masyarakat bersangkutan. Makin tinggi kedudukan seseorang, makin mudah ia memperoleh fasilitas-fasilitas yang diperlukannya dan sebaliknya.

Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial muncul karena adanya ketidaksamaan status dalam masyarakat. Perbedaan status ini kemudian menempatkan manusia pada strata yang berbeda. Salah satu ciri yang menonjol dalam masyarakat agraris adalah adanya gap antara kelas dominan dengan subordinatnya. Masyarakat agraris adalah masyarakat yang paling terstratifikasi di antara seluruh susunan masyarakat pra-industri. Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak sekali kita jumpai perbedaan-perbedaan. Apakah itu beda dalam tingkat ekonomi, beda dalam tingkat keturunan keturunan, beda dalam ras (suku) dan lain sebagainya.

Stratifikasi sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti sistem berlapis-lapis dalam masyarakat; kata Stratification berasal dari stratum (jamaknya : strata) yang berarti lapisan; stratifikasi sosial adalah pengklasifikasian penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Selama dalam masyarakat itu ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis dalam masyarakat tersebut. Suatu hal yang dihargai itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau mungkin keturunan dari orang terhormat (Kamanto, 2004:87). Ada juga yang mengartikan stratifikasi sosial sebagai jenjang status dan peranan yang relatif permanen yang terdapat di dalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) dalam hal pembedaan hak, pengaruh dan kekuasaan (Ahmadi, 2000:192).

Menurut Hartono dan Arnicun Aziz, stratifikasi sosial berasal dari kata stratus, yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga stratifikasi sosial berarti lapisan masyarakat. Suatu lapisan untuk menggambarkan bahwa dalam tiap kelompok terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai yang berkedudukan rendah (Hartono, 2003:194). Kemudian ahli sosiologi yang lain, yaitu Soerjono Soekanto juga memberikan pengertian tentang stratifikasi sosial yaitu pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hierarkis) (Soerjono, 2002:199).

Dari uraian di atas, maka dapat diambil suatu pengertian bahwa stratifikasi sosial itu merupakan lapisan masyarakat yang dilihat dari tingkat ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan ilmu pengetahuan. Jauh sebelum kita ini, sejak manusia mulai mengenal kehidupan bersama dan organisasi sosial, lapisan-lapisan itu telah ada dan telah tercipta sedemikian rupa. Biasanya hubungan ini terlihat dalam kehidupan masyarakat didasarkan kepada kelasnya yaitu berdasarkan kelas ekonomi maupun kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat secara universal.

Pendidikan Formal

Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik. Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda. Kelakuan manusia pada hakikatnya hampir seluruhnya bersifat sosial. Yakni dipelajari dalam interaksi dengan manusia lainnya. Hampir semua yang kita pelajari merupakan hasil hubungan kita dengan orang lain di rumah, sekolah, tempat bermain, pekerjaan dan sebagainya.

Pendidikan formal biasanya dikenal dengan istilah pendidikan sekolah yaitu pendidikan yang teratur, bertindak, dan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat. (Soelaiman, 2006:16). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berkonsep pada penciptaan tenaga manusia yang berdasarkan pada pemahaman nilai-nilai dalam berkehidupan dan berkesinambungan, atau yang bersifat jangka panjang bukan jangka pendek dan bukan bersifat sementara.

Pendidikan (education) berhubungan erat dengan hasil kerja. Oleh karena itu, mengkonsep pendidikan sama artinya dengan mengkonsep pembangunan suatu bangsa. Pendidikan yang baik baru dapat diperoleh dengan memiliki kesiapan dana yang memadai pula. Dengan kata lain, financial and education ibarat sekeping mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan, bisa saja dikaji secara terpisah, tetapi harus dilihat sebagai suatu kesatuan.

Adapun tujuan pendidikan menurut M. Zainuddin dalam bukunya Paradigma Pendidikan terpadu adalah: (a) terbentuknya cendikiawan muslim yang bertakwa dan berakhlak mulia, cerdas, cakap, terampil, mandiri dan bertanggungjawab terhadap kemaslahatan ummat, (b) mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan profesional untuk menyelesaikan dan kewajiban sebagai abid dan khalifah dalam kehidupan, (c) mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi manusia. (M. Zainuddin, 2008:53)

Pendidikan harus diarahkan dalam rangka mencapai pertumbuhan keseimbangan kepribadian manusia secara menyeluruh, melalui latihan jiwa, intelektual, rasio, perasaan, dan penghayatan. Karena itu, pendidikan harus menyiapkan pertumbuhan manusia dalam segala seginya: spiritual, intelektual, imajinasi, jasmani, ilmiah, linguistik, baik individu maupun kolektif, dan semua itu didasari motivasi untuk beribadah. Tujuan akhir pendidikan seorang muslim itu terletak pada (aktivitas) merealisasikan pengabdian dan kemanusiaan (Achmadi, 2005:101).

Dengan demikian, tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya adalah akhlak yang tertinggi. Akhlak mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.

Sekolah

Tidak semua tugas pendidikan dapat dilaksanakan oleh orang tua. Apalagi jika pendidikan tersebut sudah memiliki tujuan sepsifik seperti mengajarkan ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Sebenarnya pendidikan yang dilakukan sekolah adalah bagian dari pendidikan keluarga, yang sekaligus juga merupakan lanjutan pendidikan dalam keluarga. Kehidupan di sekolah adalah merupakan jembatan bagi anak yang nantinya akan mengantarkannya ke kehidupan dalam masyarakat.

Sekolah sebagai institusi resmi yang berada dibawah pengelolaan pemerintah, menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara berencana, sengaja, terarah, sistematis, oleh para pendidik profesional dengan program yang dituangkan kedalam kurikulum untuk jangka waktu tertentu diikuti oleh peserta didik pada setiap jenjang pendidikan tertentu. Di sekolah, dibawah asuhan guru-guru, anak-anak memperoleh pengajaran dan pendidikan. Anak-anak belajar berbagai macam pengetahuan dan keterampilan, yang akan dijadikan bekal untuk kehidupannya nanti di masyarakat. Memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada anak untuk kehidupannya nanti adalah inti tugas utama dari sekolah.

Selanjutnya, para supervisor berfungsi membina para guru supaya bisa bertugas secara efektif, dan tugas formal para administrator sekolah ialah mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sistem persekolahan. Para pemegang posisi tersebut mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungannya dengan berbagai unsur lainnya di dalam sistem interaksi sekolah (Sanafiah, t.t:67).

Hubungan antara dunia pendidikan dengan masyarakat erat sekali, dan karenanya saling mempengaruhi. Lembaga pendidikan, yang diidentifikasi dengan “sekolah”, dalam proses perkembangannya tidak terlepas dari “mesin sosial”. Sekolah menggerakkan segala dimensi kemanusiaan mulai sektor sosial, ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik dan agama. Masing-masing sektor ini berjalan dan berkembang saling terkait menuju ke arah yang ditetapkan. Jika gerakan masing-masing sektor ini terjadi secara harmonis dan serasi, niscaya masyarakatnya pun berkembang secara harmonis pula. Namun, jika sebaliknya, inequi-librium, maka sektor lainnya akan terpengaruh. Dari sinilah terjadi krisis kehidupan yang belakangan ini sangat dirasakan, terutama di indonesia, sehingga memberi pengaruh dan beban yang hebat bagi dunia pendidikan (Suwendi, 2004:177).

Fungsi sekolah sebagai layanan pendidikan formal untuk kepentingan masyarakat dalam rangka usaha pengembangan prestasi peserta didik adalah sebagai berikut. Pertama, Lembaga seleksi; adalah tempat memilih anggota masyarakat berdasarkan kemampuan, bakat, minat dan intelegensi setiap individu. Dalam praktinya, pengembangan terhadap anggota masyarakat perlu memperhatikan pemanfaatan potensi mereka seefektif mungkin.

Kedua, Lembaga pembaharu; berfungsi untuk mengintroduksi berbagai perubahan sikap pembaharuan pengetahuan, cara berfikir, merubah pola hidup, kebiasaan, dan tata cara pergaulan. Ketiga, lembaga peningkatan pendidikan; berfungsi untuk membantu meningkatkan taraf hidup sosial bagi warga negara Indonesia. Sekolah berusaha untuk menghilangkan perbedaan kelas di dalam masyarakat. Keempat, lembaga asimilasi; sekolah sebagai lembaga asimilasi berarti berusaha mengurangi perbedaan-perbedaan atas dasar tradisi, adat istiadat, kebudayaan, dan lain sebagainya. Sekolah berusaha menghilangkan aspek-aspek di atas, supaya dapat mengupayakan penyesuaian diri dengan lingkungan dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa.

Kelima, lembaga pemelihara kelestarian pendidikan. Syarat pertama yang harus dimiliki oleh seorang anak yang hendak mengikuti kehidupan sekolah adalah kematangan untuk besekolah dalam artian kemampuan bergaul dengan orang lain. Ia harus mampu berhubungan dengan sekelompok anak-anak yang lain, demikian pula ia harus sanggup berhubungan dengan guru. Dan, kemampuan menyesuaikan diri dengan individu-individu baru. Syarat yang kedua, yang berhubungan dengan kematangan untuk bersekolah ialah soal pengakuan kewibawaan guru, maksudnya anak sudah dapat patuh kepada segala anjuran-anjuran, larangan, dan tata tertib-tata tertib yang diberikan oleh guru tanpa didasari rasa takut dan paksaan. Syarat yang ketiga adalah kesanggupan anak menerima dan melaksanakan suatu tugas (Tabrani, 2004:89).

Rivanda adalah Sumber Daya Kependidikan SD Sukma Bangsa Bireuen

You may also like