Home » Post Truth & Standar Ganda Orang Aceh

Post Truth & Standar Ganda Orang Aceh

by pusdatin ssbbireuen

Oleh: Marthunis,M.A*

Namun, lagi-lagi sebagian masyarakat kita memiliki double standard (standar ganda). Ketika ulama tertentu mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan selera mereka, mereka akan mengikutinya dan menjadi orang paling lantang membela fatwa tersebut. Di waktu yang berbeda, ketika ulama yang sama mengeluarkan fatwa yang tidak sesuai dengan selera mereka, maka mereka pun akan mencari pembenaran lainnya. Inilah titik akut sikap post-truth hari ini.

Jauh sebelum hiruk pikuk pro-kontra menyoal vaksinasi di masa pandemi, polarisasi antara masyarakat yang pro dan kontra terhadap vaksin imunisasi sudah jauh lebih dulu mengemuka. Kubu yang terbelah ini memiliki dalil pembenarannya masing-masing. Mulai dari teori sains, teori konspirasi, hingga dalil agama menjadi dasar untuk saling mengklaim pembenaran. Sama halnya dengan para penganut kepercayaan bumi datar (flat earth), semua kebenaran sains yang telah terbukti selama ini ternyata tidak cukup untuk mengubah cara pandang dari apa yang sudah mereka percayai.

Kondisi tersebut menjadi bukti sahih bahwa hari ini kita benar-benar hidup pada sebuah era yang disebut Post-truth.

Kata post-truth sendiri pertama kali dipopulerkan oleh seorang dramawan berkebangsaan Serbia-Amerika, Steve Tesich, pada tahun 1992. Bahkan pada tahun 2016, Oxford Dictionaries merilis bahwa kata post-truth menjadi Word of the Year yang merujuk pada kisruh dan gonjang-ganjing terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat ke-45, di mana narasi kebohongan dan kebencian mendominasi jagat opini publik yang menyebar begitu cepat melalui media sosial kala itu.

Post-Truth atau pascakebenaran mencerminkan keadaan ketika batas-batas antara kebenaran dan kebohong­an, kejujuran dan kecurangan, serta fiksi dan nonfiksi menjadi kabur (Mediaindonesia.com, 12/07/2017). Inilah realitas yang kita hadapi saat ini, di mana fakta objektif tidak cukup berpengaruh untuk membentuk opini publik daripada sesuatu yang menarik emosi dan kepercayaan pribadi.

Kemudian, tingginya aksesibilitas pengguna internet yang menggunakan media sosial menjadi salah satu alasan utama berkembangnya sikap post-truth. Berdasarkan survei yang diselenggarakan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), penetrasi pengguna internet pada tahun 2019-2020 sudah mencapai angka 73,7% dari 266,91 juta jiwa penduduk Indonesia. Sayangnya, tingginya angka pengguna internet di negeri ini belum berbanding lurus dengan tingkat Indeks Literasi Digital. Hasil survei Katadata Insight Center dalam Status Literasi Digital Indonesia 2020 menyimpulkan bahwa Indeks Literasi Digital orang Indonesia masih berada pada kategori sedang. Bahkan untuk aspek Informasi dan Literasi Data paling rendah skornya, yaitu 3,17 dari total skor 5 yang bisa diraih.

Maka tidak mengherankan jika berbagai hoaks menyebar begitu mudah lewat medium media sosial yang mengakibatkan pelbagai kisruh dan konflik di seluruh pelosok negeri. Dan pada titik ini post-truth menemukan momentumnya.

Ada sebuah ungkapan menarik dari Joseph Goebbels, seorang gembong Nazi paling setia di sisi Hitler, ia pernah berujar bahwa, “a lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes the truth”. Inilah potret ironi realitas kita hari ini, kebohongan yang dibagikan berulangkali melalui jejaring platform media sosial akhirnya berubah menjadi pembenaran dan kebenaran yang dipercayai oleh banyak orang, termasuk perihal vaksinasi.

Studi dan parameter medis yang jelas-jelas berbasis sains dengan parameter terukur dan dapat dipertanggungjawabkan ternyata tidak cukup ampuh untuk meyakinkan banyak orang agar bersedia divaksin. Mereka yang menolak vaksin juga merasa memiliki argumentasi ilmiah yang sebanding, plus dalil agama sebagai alasan pembenaran atas penolakan tersebut.

Standar Ganda Orang Aceh

Dalam konteks Aceh misalnya, di saat banyak provinsi lain yang kehabisan dosis vaksin karena animo tinggi masyarakat yang ingin divaksin, di Aceh terjadi sebaliknya. Para tenaga kesehatan malah kesulitan menghabiskan dosis vaksin yang tersedia. Bahkan hingga awal Oktober, baru 25,42 persen masyarakat yang disuntik vaksin dari total target vaksinasi 4 juta warga (Katadata.co.id, 02/10/2021).

Perihal vaksinasi dan pandemi yang belum kita ketahui di mana siklus akhirnya benar-benar memberi dampak yang signifikan bagi dunia pendidikan. Terdapat dua fenomena kontradiktif yang terjadi. Di satu sisi, mayoritas orangtua mendesak dan menginginkan sekolah menyelenggarakan pembelajaran digelar secara tatap muka. Namun di sisi lain, sangat sedikit sekali para orangtua yang mengizinkan anak-anaknya divaksin.

Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi dunia pendidikan. Padahal tujuan vaksinasi adalah untuk membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) agar kita dapat segera hidup berdampingan dengan virus corona. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri, namun juga melindungi orang lain. Sejatinya, semakin tinggi angka persentase yang divaksin maka akan semakin cepat membentuk kekebalan kelompok di antara para siswa, guru dan seluruh komunitas pendidikan sehingga pandemi dapat segera berubah menjadi endemi.

Anehnya, terkadang standar sebagian masyarakat kita ganda. Ikut program vaksinasi tidak mau bahkan ikut memprovokasi banyak orang. Tetapi di saat yang sama menjadi oknum yang berteriak paling lantang agar masyarakat negeri ini ikut mencontoh negara-negara Eropa yang  menganggap pandemi “sudah berakhir”, karena telah menyelenggarakan berbagai even akbar seperti pertandingan sepakbola yang kembali mengizinkan ribuan suporter menyesaki stadion. Padahal faktanya adalah negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) telah mencapai target 70 persen vaksinasi untuk orang dewasa sejak Juli lalu (Beritasatu.com, 11/07/2021). inilah sikap post-truth yang telah menjangkiti sebagian besar masyarakat kita.

Akibat sikap post-truth ini, ruang pendidikan menjadi terlihat kurang berarti untuk memberikan pencerahan dengan data dan fakta yang objektif, karena setiap orang sudah cenderung memiliki pembenarannya masing-masing yang sulit untuk diubah, jika pun tidak ingin dikatakan mustahil. Bahkan ketika satuan pendidikan berupaya menggandeng praktisi kesehatan untuk berbagi dan memberi sosialisasi kepada para orangtua terkait manfaat vaksinasi di masa pandemi, banyak di antara mereka yang memilih tidak hadir.

Sebagai contoh, di Kabupaten (Pidie, Aceh) di tempat saya mengajar, capaian vaksinasi bagi siswa baru mencapai 13,7 persen hingga akhir September lalu (Ajnn.net, 24/09/2021). Padahal upaya sosialisasi sudah ditempuh dalam ragam bentuk hingga menggandeng para ulama sekali pun. Namun, lagi-lagi sebagian masyarakat kita memiliki double standard. Ketika ulama tertentu mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan selera mereka, mereka akan mengikutinya dan menjadi orang paling lantang membela fatwa tersebut. Di waktu yang berbeda, ketika ulama yang sama mengeluarkan fatwa yang tidak sesuai dengan selera mereka, maka mereka pun akan mencari pembenaran lainnya. Inilah titik akut sikap post-truth hari ini.

Namun demikian, meskipun ruang pendidikan harus berhadapan dengan kondisi yang dilematis dalam menghadapi fenomena post-truth saat ini, ranah pendidikan seyogianya masih menjadi satu-satunya jalan dan harapan untuk memberi pencerahan serta mengkampanyekan kebenaran melalui data dan fakta objektif bagi segenap peserta didik. Agar mereka tumbuh menjadi generasi yang memiliki kecapakan literasi yang baik, sehingga dengan sendirinya sikap post-truth tidak menjangkiti mereka di masa mendatang. Semoga!

*)Pendidik dan Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 16/10/2021

You may also like

Leave a Comment