Home » Urgensi Agency Guru

Urgensi Agency Guru

by pusdatin ssbbireuen

Oleh: Kartika Hakim, M. A.*

Pandemi Covid-19 mempengaruhi cara dan proses belajar mengajar di sekolah. Proses pengelolaan belajar mengajar dipaksa untuk melakukan berbagai penyesuaian. PJJ, BDR adalah bagian dari upaya penyesuaian yang selama ini dilakukan. Namun upaya penyesuaian di masa pandemi juga harus menghadapi berbagai kendala. Terutama bagi sekolah dan guru yang tidak memiliki akses internet atau platform pembelajaran daring yang lebih baik, karena lokasi geografis maupun kapasitas finansial mereka. Masalah lain yang tak kalah penting adalah kapasitas sekolah/guru dalam penguasaan teknologi dalam pembelajaran, mentalitas dan fleksibilitas dalam merespon perubahan akibat pandemi.

Balada PJJ

PJJ menjadi metode alternatif favorit, jika tidak ingin disebut satu-satunya teknik pembelajaran yang diterapkan oleh banyak sekolah dalam upaya penuntasan belajar peserta didik. Hal ini bisa dipantau dari semakin populernya penggunaan Google Classroom, Moodle e-learning dan Microsoft Team. Saat ini webiinar serta media edukasi lainnya menjadi sang juru selamat bagi sekolah dan guru untuk memastikan pembelajaran tetap dapat terlaksana.

Namun demikian, banyak pihak yang masih mempertanyakan efektivitas penggunaan media tersebut untuk jangka panjang. Artinya bila hanya sekadar memindahkan apa yang ada di buku atau ruang kelas dalam bentuk online dengan jadwal padat yang mencakup seluruh mata pelajaran, tentu juga akan menimbulkan masalah baru dalam pembelajaran. Ditambah lagi dengan kurangnya kreativitas guru dalam memberikan pembelajaran sehingga membuat peserta didik bosan dan jenuh.

Penggunaan platform belajar daring tanpa perencanaan matang berpotensi membuat siswa gagal mendapatkan pengalaman dan kebermaknaan belajar. Kekurangan makna “belajar” hanya akan membuat peserta didik burnout, tertekan dan bosan. Jika terus berlangsung, maka peserta didik akan menjadi pihak yang paling dirugikan karena proses belajar yang tak efektif.
Learning loss menjadi ancaman nyata yang dipertegas oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim yang mengakui bahwa PJJ yang terlalu lama akan menimbulkan risiko yang besar.

Pandemi telah menyadarkan semua pelaku pendidikan bahwa sebagian besar sekolah dan guru masih belum siap untuk melakukan berbagai inovasi sebagai respon atas perubahan yang begitu cepat dan masif. Fakta bahwa pembelajaran masih terikat pada sekolah/ruang kelas dan sosok guru sebagai satu-satunya sumber belajar, sepertinya terkonfirmasi di masa pandemi ini. Semua pihak gagap dan salah langkah dalam menghadapi problematika pendidikan selama PJJ. Tidak salah banyak penelitian maupun forum-forum pendidikan, kemudian mengkambinghitamkan fasilitas sekolah dan profesionalisme guru sebagai salah satu faktor yang membuat pengelolaan pendidikan kita masih belum bisa berbicara banyak, bahkan untuk level ASEAN.

Demi kesuksesan PJJ dan perbaikan kualitas pendidikan, sekolah dan guru harus mampu memotivasi siswa dan melatih kemandirian mereka dalam belajar agar menyadari kebutuhannya. Sehingga menjadi penting untuk menjamin peningkatkan kapasitas guru dalam memfasilitasi pembelajaran yang beragam.

Untuk menjawab tantangan di atas, pemerintah dan swasta berlomba-lomba menawarkan sejumlah pelatihan online dan media evaluasi dari yang gratis sampai yang berbayar. Tujuannya adalah untuk membantu para guru membuat pembelajaran daring yang lebih efisien, menarik, menyenangkan dan tentu saja bermakna. Sehingga jika masih ada guru yang enggan untuk melakukan ekplorasi untuk mengembangkan profesionalismenya dengan memanfaatkan kesempatan ini, dapat dipastikan ia akan gagal menyediakan kebermaknaan belajar bagi siswanya di era kebiasan baru ini.

Sebaliknya, bagi guru yang memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan secara personal dan profesional dengan melakukan sejumlah usaha dalam rangka membantu peserta didiknya akan melahirkan sebuah kemampuan unik. Kemampuan dan kapasitas ini kemudian oleh Bandura (2001) disebut sebagai agency .

Guru dan Agency
Kemampuan untuk berperan dalam mengembangkan diri, beradaptasi, dan melakukan pembaharuan terhadap perubahan, melekat pada guru yang memiliki agency. Calvert (2016) mendeskripsikan guru yang memiliki agency sebagai guru yang memiliki skil untuk melakukan sesuatu yang tujuannya untuk mengembangkan profesionalitas dirinya sendiri dan juga rekan kerja secara konstruktif. Sebelumnya, Pytalto, Pietarinen and Soini (2012) mengatakan bahwa guru yang memiliki agency adalah mereka yang meyakini kemampuan memotivasi dirinya untuk berpatisipasi aktif dalam interaksinya sehari-hari. Mereka menambahkan bahwa guru yang memiliki agency tercermin dari kemampuan memperoleh pengetahuan baru secara sengaja (dari dalam diri sendiri) dalam rangka memenuhi tanggung jawab moral untuk diri mereka sendiri dan komunitas mereka. Berikut beberapa fakta seputar agency ini.

Pertama, guru yang memiliki agency akan memetakan kemampuan dirinya saat ini, melihat kondisi di sekitarnya secara menyeluruh dan merancang tujuannya dalam meningatkan profesionalismenya. Tanpa perlu arahan atau perintah dari siapapun, akan mengikuti pelatihan, workshop dan seminar-seminar yang sejalan dengan kebutuhannya secara mandiri.

Kemampuannya yang secara konsisten mencari atau mengupayakan hal-hal yang diperlukan untuk meningkatkan profesionalismenya, akan berdampak besar pada kesuksesan memfasilitasi pembelajaran para peserta didiknya.

Kedua, adanya kemampuan meregulasi diri (self-regulation) di mana seseorang mampu meregulasi pemikiran, perasaan dan perbuatannya dalam mencapai tujuannya. Menurut Zimmerman (2000), kemampuan meregulasi diri adalah sesuatu yang direncanakan dan dalam prosesnya seperti siklus karena tiap fasenya saling berkaitan satu sama lain. Fase yang dimaksud adalah fase penentuan tujuan yang meliputi beberapa strategi pembelajaran yang dibutuhkan serta munculnya motivasi intrinstik.

Ketiga, melakukan eksekusi agar tujuannya dapat tercapai. Agency tidak hanya sekedar memiliki niat untuk menjadi profesional, namun akan tercermin dari segala tindakan yang diambil. Untuk itu perlu ada tindakan konkrit dan kontinyu terhadap semua rencana yang sudah disusun. Artinya ada tindak lanjut terukur dan aksi nyata sebagai implementasi niat menjadi profesional.

Termasuk dalam fase ini adalah melakukan manajemen waktu, mencari bantuan dari mereka yang lebih ahli dan berpengalaman atau berdikusi dan berkolaborasi dalam pengajaran dan pembelajaran. Selanjutnya juga penting untuk mengekplorasi alternatif solusi menghadapi tantangan dengan melakukan inovasi dan berkreasi. Guru dapat mengamati dan mengidentifikasi apakah tindakan yang diambil membantu pencapaian tujuannya sambil terus melakukan refleksi dan memperbaiki diri.

Urgensi

Tuntunan untuk memiliki agency ini menjadi keharusan bagi para guru yang mengajar di era kenormalan baru ini. Hal ini dipertegas dengan amaran Menteri Nadiem Makarim yang tertera dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan Nomor 3 Tahun 2020. Di sana disebutkan bahwa kurikulum khusus yang digunakan selama masa pandemi bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada satuan pendidikan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Artinya sekolah terutuma guru harus memastikan terlebih dahulu kebutuhan peserta didik. Tugas ini semakin menantang di kala sejumlah elemen lain juga harus terpenuhi yaitu kebermaknaan, kompetensi, serta kebermanfaatan kompetensi yang dipilih. Walaupun sulit, hal-hal tersebut menjadi tujuan utama yang harus dicapai oleh sekolah dan guru.

Sayangnya, unsur yang lebih sering didiskusikan selama ini adalah tentang sisi “kurikulum darurat” dan bahwa sekolah tidak harus menuntaskan semua kompetensi yang tercantum. Hal ini akan menjadi bumerang apabila guru atau bahkan sekolah terjebak pada bagian kecil dari keputusan menteri ini.

Akibatnya guru dan sekolah kemudian tidak akan terlalu ngoyo untuk berusaha, belajar atau melakukan pengembangan kapasitas diri guru dan sekolah. Jika hal ini terus terjadi, maka sekolah maupun guru akan kesulitan untuk kemudian masuk ke dalam esensi utama yang diharapkan dari belajar pada masa darurat ini. Hal-hal seperti pembelajaran yang aktif dan bermakna, terbangunnya relasi yang sehat antar pihak yang terlibat dalam pembelajaran, keberagaman, inklusifitas, kontekstualitas, orientasi sosial dan masa depan, kesesuaian target pembelajaran dengan kemampuan peserta didik, serta membangun suasana belajar yang menyenangkan.

Setelah esensi pembelajaran tersebut dipenuhi, proses penilaian pun diharapkan dapat dilakukan secara valid, adil, reliable, fleksibel, otentik, serta terintegrasi. Tentunya guru tidak boleh alpa apalagi abai dalam mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam merencanakan PJJ. Jika tidak, tentulah PJJ, BDR atau apalah namanya, hanya akan menjadi ajang asal selesai tugas mengajar, asal sudah memberikan materi, asal sudah diujikan dan asal sudah dilaporkan dalam rapor.

Tidak ada kebermaknaan baik bagi peserta didik untuk belajar maupun bagi guru untuk perbaikan pada pembelajaran yang akan datang. Terakhir, pilihan sikap dan hanya puas pada kemampuan yang dimiliki saat ini atau bertahan pada pembelajaran konvensional yang tidak dinamis, sama sekali bukan bagian dari karakteristik dari guru yang memiliki agency. Wallahu a’lam.

*)Kartika Hakim, S.Si, M.A., Guru Bahasa Inggris & Kepala Sekolah SMA Sukma Bangsa Bireuen.

*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 14/06/2021

You may also like

Leave a Comment