Home » Urgensi Kualitas Guru

Urgensi Kualitas Guru

by Pusdatin
0 comment 179 views
Urgensi Kualitas Guru

Oleh : Fachrurrazi, Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen

VILLEGA-REIMER (2004) dalam Fachruddin (2021) menyatakan guru merupakan aspek utama dan penentu kunci keberhasilan pembelajaran, implementasi kebijakan dan usaha-usaha kreatif, inovatif, serta demokratisasi pendidikan. Pasi Sahlberg dalam bukunya,   Finnish Lessons  (2011), menyatakan bahwa salah satu faktor fundamental keberhasilan pendidikan di Finlandia ialah kualitas guru. Guru adalah pemain utama sekaligus ujung tombak dalam semesta pendidikan. Karena itu, adanya program-program yang secara konkret selalu mendukung, mendampingi, serta membantu untuk terus mengembangkan kualitas personal dan kualitas profesional para guru adalah sebuah garansi bagi pendidikan yang gemilang.

Kualitas guru

Sri Utami (2019) menunjukkan beberapa hal yang menjadi sebab buruknya kondisi pendidikan Indonesia, antara lain kualifikasi guru yang belum setara sarjana, program peningkatan keprofesian dan penelitian guru yang rendah, serta rekrutmen guru yang belum efektif. Hal-hal tersebut sebenarnya sudah sama-sama dimaklumi. Namun, tindakan konkret untuk paling tidak membenahi satu per satu hal tersebut, jika dirasa belum mampu membenahi semuanya, masih abai dilakukan insan pendidikan Tanah Air. Sebagai akibatnya, hal-hal tersebut senantiasa menjadi momok inferioritas pendidikan Indonesia yang konsisten berada jauh di bawah negara-negara seperti Finlandia, Tiongkok, dan Jepang.

Sahlberg (2011) mengidentifikasi bahwa jalan menuju kesuksesan dari negara Finlandia dimulai dengan pendekatan pendidikan yang berbasis pada otonomi dan independensi guru. Seterusnya karier guru di Finlandia sangat didamba oleh mayoritas lulusan terbaik sekolah menengah. Karena itu, dari puluhan ribu pendaftar, hanya 10% yang diterima di kampus-kampus keguruan. Kaire (2018) menyatakan bahwa guru di Tiongkok diwajibkan melakukan kolaborasi dengan sesama rekan guru selama beberapa jam dalam seminggu untuk memupuk sisi profesionalitas guru dan melatih guru untuk saling mengamati best practices.

Sementara itu, profesi guru di Jepang sangat terhormat dan kompetitif sehingga hanya 14% dari seluruh pelamar yang berhak mengikuti program teacher education (ITE). Berikutnya hanya 30%-40% dari jumlah tersebut yang lulus dan menjadi guru setelah berhasil mengikuti ujian akhir yang sangat ketat.

Jika kita mau jujur dan berbesar hati, harus diakui bahwa kualitas rekrutmen dan pengembangan guru di Indonesia masih jauh dari potret yang digambarkan di atas. Karena itu, merupakan sebuah keniscayaan untuk terus berbenah dan menguatkan komitmen dalam rangka menanggulangi lini yang paling signifikan tersebut. Selanjutnya, kualitas guru terkait langsung dengan kualitas personal dan kualitas profesional. Sebab itu, langkah pembenahan berikutnya harus difokuskan pada pengembangan sisi personal dan profesional para guru.

Personal guru

Kualitas personal guru erat kaitannya dengan panggilan jiwa untuk membantu mengembangkan orang lain serta mengembangkan dan memenuhi kapasitas diri sebagai pribadi. Guru yang bertekad untuk mengembangkan dan membantu para siswa akan mencari berbagai cara agar bisa terus memotivasi anak-anak didiknya untuk belajar. Komitmennya untuk memberikan pengalaman belajar yang berharga kepada murid tidak akan terhenti dengan aral dan masalah klasik semisal kenakalan dan kurangnya motivasi belajar dari para siswa.

Darajat (2015) mengungkap bahwa para siswa merindukan kualitas personal guru yang demokratis, baik hati, sabar, adil, konsisten, bersifat terbuka, suka menolong, suka humor, menguasai bahan pelajaran, fleksibel, dan menaruh minat yang baik terhadap siswanya. Dalam masa pandemi yang penuh tantangan seperti sekarang ini, para guru yang memiliki kualitas personal di atas terpanggil untuk menolong para anak didiknya yang telah terjerumus dalam masalah kesulitan belajar dan learning loss  akibat hilangnya kesempatan pembelajaran tatap muka di sekolah.

Berikutnya, guru juga punya kapasitas panggilan untuk mengembangkan dirinya sendiri. Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Karena itu, penting untuk terus mengembangkan karakter personal dirinya agar ciri uswatun hasanah  semakin nyata dalam diri seorang guru. Ia perlu terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan dirinya secara jasmani, rohani, personal, dan profesional.

Kebutuhan jasmaninya yang meliputi pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa sandang, pangan, dan papan patut terpenuhi. Selanjutnya ia juga perlu memenuhi kebutuhan rohaninya berupa ilmu pengetahuan, ibadah, skill, dukungan moril, hiburan, liburan, dll. Para pimpinan lembaga pendidikan diminta jeli untuk terus memantau perkembangan kapasitas personal guru tersebut. Sekolah perlu menyediakan mentor agar para guru terus menerima dukungan moril dan materiel dalam menjalankan tugasnya. Guru tanpa dukungan akan merasa bergerak dan berjuang sendirian dan dalam jangka panjang akan menjadi beban psikis dan psikologis yang serius. Jika terus berlanjut, akan  mengakibatkan ia apatis dan kehilangan motivasi untuk menjadi seorang guru sejati.

Profesional guru

T Situmorang (2019) menyatakan kualifikasi profesional guru antara lain memiliki kompetensi dalam ilmu pengetahuan, kredibilitas moral, dedikasi dalam menjalankan tugas, kematangan jiwa (kedewasaan) serta memiliki keterampilan teknis mengajar, mampu membangkitkan etos dan motivasi anak didik dalam belajar dan meraih kesuksesan. Untuk meningkatkan kualitas profesional guru tersebut, Sri Utami (2019) menyarankan untuk melakukan hal-hal berikut: memastikan kualitas guru, memaksimalkan peran lembaga pengembangan kualitas guru, dan menggagas komunitas masyarakat praktisi.

Pertama, memastikan kualitas guru. Selain menjalankan amanat UU No 14 Tahun 2005 yang berbunyi bahwa para guru minimal harus memiliki standar kompetensi S-1/D-4, pemerintah seterusnya masih perlu menjamin kualitas guru dengan menyelenggarakan program sertifikasi guru. Program sertifikasi guru yang telah dijalankan sejak 2007 dan berusia 14 tahun itu sudah cukup baik dan relatif telah mampu meningkatkan kualitas profesional guru, terlepas dari berbagai masalah yang menyertai seperti kekurangan anggaran, kurangnya budaya literasi guru, dan ketidaktertiban administrasi serta rendahnya kualitas lulusan sertifikasi era portofolio.

Meski demikian, pembayaran tunjangan sertifikasi guru dalam bentuk transferan dana sertifikasi perlu dievaluasi dan dikaji lagi efektivitasnya. Selama ini banyak pihak yang menuding bahwa program pembayaran sertifikasi guru yang menelan mayoritas anggaran pendidikan nasional tersebut belum dimanfaatkan dengan baik oleh para guru untuk tujuan pendidikan. Hal ini jelas tergambar dengan buruknya kualitas profesional guru dalam UKG 2015. Maka, pantaslah jika Menkeu Sri Mulyani berujar pada 2018 lalu bahwa tunjangan guru dalam bentuk dana sertifikasi tidak mencerminkan kualitas pendidik.

Kedua, memaksimalkan peran lembaga pengembangan kualitas guru. Di Amerika Serikat ada lembaga National Comprehensive Center for Teacher Quality, sebuah organisasi kemitraan yang didanai pemerintah federal dalam rangka membantu negara melaksanakan mandat untuk meningkatkan kualitas guru. Lembaga ini bekerja sama dengan universitas untuk meningkatkan kemampuan guru secara komprehensif. Selain itu, lembaga ini juga membantu menangani siswa berkebutuhan khusus dan siswa berisiko.

Di Finlandia ada gerakan yang dinamakan guru peneliti. Sekolah wajib bekerja sama dengan universitas untuk menyediakan layanan peningkatan kualitas profesional dan pedagogi guru yang berbasis penelitian. Para calon guru dan para guru senior bahu-membahu melakukan riset dengan cara mengembangkan dan memodelkan praktik-praktik pedagogi baru dari berbagai best practices yang telah ada. Hasil penelitian tersebut nantinya akan dikembangkan dan disempurnakan di ruang kelas untuk mendukung pembelajaran dan pengajaran (Kairen 2018).

Ketiga, membentuk komunitas masyarakat praktisi. Untuk mengembangkan kapasitas guru tentu dibutuhkan sebuah komunitas beranggotakan para guru dan aktivis pendidikan yang punya tujuan dan komitmen yang sama guna membangun pendidikan. Masyarakat praktisi, menurut Wallace (2007), adalah sekelompok orang yang memiliki kesamaan ketertarikan, berinteraksi secara teratur, dan belajar bersama untuk mencapai suatu tujuan.

Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnya bisa menginisiasi warga di dalam dan dari luar sekolah untuk membentuk  sebuah  community  of practice di mana para anggota dengan sukarela terikat oleh nilai dan visi bersama. Aktivitas berbagi pengetahuan ini diharapkan akan melahirkan pengetahuan baru hasil dari kolaborasi dan eskalasi pengetahuan yang telah ada, baik berupa pengetahuan tacit maupun eksplisit.

Semoga, dengan ikhtiar bersama para ahli pendidikan, pemerintah, swasta, serta masyarakat, kualitas pendidikan Indonesia akan semakin gemilang kelak. Salah satu indikasinya ialah semakin banyaknya putra-putri terbaik bangsa yang cerdas ingin menjadi guru di masa depan. Sebagaimana dikatakan Tarmizi (2016), profesi guru di masa dulu merupakan profesi idaman, di saat semua orang ingin menjadi guru. Kalau tidak berhasil, sekadar bermantukan seorang guru saja pun sudah bangga. Wallahu a’lam.

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/435578/urgensi-kualitas-guru

You may also like